-->

Minggu, 09 Februari 2020

Perjuangan Menyusui yang Berdarah-darah

Drama menyusui


Oke, judulnya memang lebay. Tapi soal berdarah-darah itu memang terjadi. Ternyata, setelah melahirkan yang penuh dengan drama, ada fase dramatic lain yang mesti dilalui sebagai seorang ibu. Taraaa... Menyusui.

Aneka macem kisah drama menyusui sebetulnya sudah pernah saya dengar sebelumnya. Tapi nggak nyangka aja kalau se-amazing ini waktu dijalani.


Pertama Kali Menyusui


Setelah observasi ibu dan bayi, kami akhirnya disatukan dalam satu ruangan. Begitu ketemu, langsung menyusui.

Saya dibantu perawat dan bidan untuk menyusui anak saya. Badan saya masih belum bisa banyak bergerak saat itu. Pukul 1 dini hari, meski badan masih sakit, saya upayakan untuk bisa miring ke kanan demi bisa menyusui Ghazy.

Sulit? Sudah pasti. Sakit? Nggak terasa. Saya punya pain killer buatan Allah langsung, Ghazy. Buat saya, Ghazy bukan hanya jadi penghilang rasa sakit aja. Tapi juga ngasih saya kekuatan untuk bisa menggerakkan badan saya. Alhamdulillah, bisa.

Sayangnya, waktu itu ASI saya nggak langsung keluar. Jadi, Ghazy cuma ngenyot aja. Galau? Tidak juga. Karna saat itu, saya sudah tahu bayi bisa bertahan tanpa ASI selama 3 hari. Supaya bisa cepat keluar ya disusukan ke bayi.

Saya sudah belajar tentang ASI dan menyusui waktu masih hamil. Bagaimana caranya supaya saya bisa menyusui secara optimal. Posisi bayi, pelekatan mulut bayi di payudara, semuanya sudah saya pelajari. Tapi ternyata teori dan praktik sungguh berbeda.

Iya, saya tahu kalau menyusui bukan hanya puting saja yang masuk ke mulut bayi. Aerola juga harus masuk supaya ASI bisa keluar secara optimal. Saya tahu itu.

Realitanya, bibirnya Ghazy ini imut sekali. Susah sekali memasukkan aerola ke mulut Ghazy.

ASI belum keluar, bagian payudara yang masuk cuma puting aja. Kebayang ya gimana rasanya? Clekit-clekit banget. Sudah bisa dipastikan kalau puting saya jadi lecet setelah itu.

Ketika Hilal ASI Mulai Tampak


Paginya, ASI saya mulai merembes keluar. Alhamdulillah. Tapi kondisi payudara masih clekit-clekit kalau kena sesuatu apalagi kesenggol. Huwaaaa... Bisa nangis saya.

Hal yang saya suka dari RSIA Bunda Suryatni adalah para tenaga medis yang ada di sana sabar sekali membimbing saya agar bisa lekas menyusui. ASI saya yang belum keluar di hari pertama tidak serta merta membuat mereka memaksa kami untuk memberikan susu formula ke Ghazy.

"Terus disusui ya, Bu. Tiap 2 jam sekali dedek bayinya harus menyusui. Bangunkan saja kalau dia masih tidur."

Maunya juga gitu. Saya bangunkan Ghazy tiap 2 jam sekali. Lalu menyusui agar produksi ASI bisa meningkat. Sekali lagi, saya dihadapkan oleh realita yang tidak sesuai dengan ekspektasi sama sekali.


Tantangan Lain


Membangunkan Ghazy hari itu tuh sulit sekali. Saya sudah minta bantuan suami dan Ibu untuk membangunkan Ghazy. Aneka cara juga sudah dilakukan. Mulai dari dibangunkan secara halus, disentil kakinya, dilap kakinya dengan air dingin, dicubit, semuanya yang sekiranya bisa membangunkan Ghazy sudah dilakukan. Tapi Ghazy tidak kunjung bangun.

Saya sempat menyerah dan berharap suntikan imunisasi bisa membuat Ghazy terbangun. Faktanya, Ghazy tidak menangis sedikit pun. Cuma merengek sebentar, lalu dia tertidur lagi pulas.

Astaghfirullah.. Harus bagaimana lagi?

"Anak saya belum bangun dari jam 11 tadi dok. Kami sudah membangunkan dia dari jam 1 siang, tapi dia belum juga bangun. Bahkan imunisasi sore ini aja tidak membuat dia terbangun."

"Sepertinya dia kecapekan, Bu. Kemarin kan dia sempat diinduksi juga. Nggak masalah kok. Lagi pula kebutuhan ASI untuk bayi baru lahir juga tidak banyak."

Kami yang sudah frustasi membangunkan Ghazy akhirnya membiarkan dia tidur sampai bangun sendiri. Ba'da isya, Ghazy baru bangun. Akhirnya bisa menyusui juga.

Drama pertama punya bayi pun terjadi. Ghazy rewel sekali malam itu. Nggak mau tidur. Saya susui juga nggak mau. Lewat tengah malam badannya demam.

Apa iya karna baru imunisasi? Tapi kata dokter imunisasi hepatitis B itu tidak menimbulkan efek samping. Nyatanya kok begini ya?

Semalaman kami begadang. Saya, suami dan ibu bergantian menggendong Ghazy hingga akhirnya dia mau tidur juga. Kata suami, Ghazy baru tidur pukul 2.30 dini hari.


Perjuangan Menaikkan Bilirubin


Keesokan paginya, Ghazy diobservasi lagi oleh perawat. Kata mereka, anak saya mulai kuning. Benar saja, hasil tes bilirubin Ghazy lebih tinggi dari seharusnya. Tidak terlalu tinggi sebetulnya. Tapi kalau besok pagi bilirubinnya belum turun juga, maka Ghazy harus menjalani photo therapy selama 36 jam. Artinya, kami tidak bisa pulang sama-sama.

Ghazy kuning


Hari itu, saya betul-betul mengupayakan agar Ghazy bisa menyusu. Saat Ghazy tidur, saya coba cek ASI saya. Rasanya miris sekali saat tahu kalau ASI saya masih juga merembes. Belum keluar banyak. Sementara itu, Ghazy tidak hanya kuning, tapi sudah dehidrasi.

Upaya terus saya lakukan. Posisi pelekatan saya evalusi lagi. Saya cari video cara menyusui newborn yang benar bagaimana. Setelah tahu caranya, saya paksa Ghazy untuk belajar menyusu dengan benar. Saya tarik payudara saya kalau Ghazy belum benar.

"Ayo sayang, kita belajar sama-sama ya biar Ghazy cepet sembuh. Terus kita bisa pulang bareng," ini yang terus menerus saya katakan ke Ghazy saat dia mulai tidak sabar.

Saat visit dokter anak, saya juga coba konsultasikan masalah pelekatan ini. Apakah sudah benar atau belum? Alhamdulillah, setelah belajar maksa tadi, akhirnya betul juga. Setelah visit, perawat pun terus memotivasi saya sembari terus memantau posisi menyusui saya. Targetnya, ASI bisa keluar sehingga bilirubin Ghazy bisa turun dan tidak lagi dehidrasi.

Selain terus menyusui, saya juga memompa ASI saya. Jangan tanya berapa mililiter yang saya dapatkan. Setengah jam saya pumping cuma bisa membasahi pantat botol. Potek-potek rasanya hati ini. Sambil menyusui, air mata ini meleleh.

Iya, saya tahu kuning pada bayi itu wajar. Saya tahu kalau bayi saya masih bisa bertahan tanpa ASI selama 3 hari. Saya tahu itu. Tapi semua itu tidak cukup untuk membendung air mata ini jatuh ke pipi.

Lewat tengah malam, Ghazy mulai menyusu tiap sejam sekali. Entah, apakah ini karena dia tahu akan ditinggal pulang kalau bilirubinnya tidak turun atau kebetulan saja. Saya tidak tahu. Pastinya, ini jadi kesempatan saya untuk bisa mengupayakan apa yang bisa saya upayakan agar Ghazy bisa lekas pulang.


Rencana Allah yang Lain


Pukul 8.30 pagi, Ghazy dites bilirubin ulang. Deg-degan banget rasanya.

Pukul 10.30 hasilnya keluar.

"Ini hasil labnya, Bu. Bilirubin putra ibu 12,6. Jadi, dia harus disinar."

Saya tahu hasilnya tidak parah. Tapi tetap saja berita itu membuat hati saya hancur. Apa yang kami upayakan ternyata tidak berhasil. Ghazy harus dipindahkan ke Ruang Perina untuk disinar. Tidak hanya itu, kami juga harus menyediakan ASIP untuk kebutuhan Ghazy selama dirawat di Ruang Perina.

"Berapa liter yang harus kami sediakan?"
"Paling tidak ada 1 liter ASI, Bu."

Ya Allah, dari mana saya bisa dapat ASI sebanyak itu kalau yang keluar saja baru rembesan saja.

"Kalau saya belum bisa menghasilkan sebanyak itu bagaimana?"
"Ya terpaksa harus sufor."

Begitu dengar begitu, rasanya dari dalam kepala seperti ada bunyi piring-piring pecah. Prang! Rasanya begitu berkecamuk. Ingin menangis saja saat itu. Tapi semua harus diputuskan segera. Apa yang anak saya butuhkan harus diupayakan saat itu juga.

Kami terpaksa membelikan susu formula untuk bayi kami. Setidaknya, hari itu dia punya asupan makanan sembari kami alternatif lain.

Pukul 10.30, Ghazy masuk Ruang Perina. Saya antarkan dia dengan air mata yang berlinang. Saya tahu kondisinya tidak parah. Tapi tetap saja air mata ini tidak bisa dibendung.

Photo therapy


Setelah Ghazy masuk, kami berkemas untuk pulang. Saya memang sudah diizinkan pulang oleh dokter. Sebetulnya saya diizinkan untuk stay lebih lama di rumah sakit. Tapi saya pikir lagi untuk apa? Hal terbaik yang bisa kami lakukan ya segera keluar dari rumah sakit dan mengupayakan ASI untuk Ghazy.


The Power of Busui


Begitu keluar dari rumah sakit, kami tidak langsung pulang. Langsung cari alat pompa ASI. Jujur saja, waktu menyiapkan peralatan bayi, ini sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Toh, rencananya saya memang ingin menyusui langsung.

Sembari belanja, saya coba hubungi sepupu suami yang kebetulan juga baru melahirkan. Beda usianya 4 bulan dengan Ghazy. Suplai ASI in syaa Allah pasti ada.

Setelah beli, saya ke rumah sepupu Ghazy dan meminta ASI-nya. Tidak banyak yang kami dapatkan. Hanya 120 ml. Tapi itu cukup untuk 3 kali asupan makanannya Ghazy.

Hari itu betul-betul jadi hari yang panjang untuk saya. Kata orang, kalau baru operasi caesar itu jadi susah bergerak. Tapi saya sama sekali tidak mengalami hal itu. Ada dorongan yang begitu kuat untuk pergi ke sana ke mari demi anak saya. Dia harus sembuh sesegera mungkin.


Perjuangan Memenuhi Stok ASIP yang Berdarah-darah


Saya baru sampai rumah ba'da isya. Istirahat sejenak sambil mencoba memerah ASI. Awalnya saya coba perah dari sebelah kanan dulu. Karena lecet, bukan hanya ASI yang keluar, tapi juga darah. Kaget dong waktu lihat hasil perahan malam itu.

Saya langsung buang, bersihkan dan sterilkan alat pompa saya. Setelah itu, baru saya coba pompa dari payudara sebelah kiri.

Hampir 30 menit memompa ASI, saya hanya dapat sekitar 30 ml saja. Sedih? Tidak. Ada kebahagiaan yang mengalir saat tahu bahwa ASI saya kini tidak hanya membasahi dasar botol.

Paginya, saya coba perah kembali payudara sebelah kiri saya. Tiba-tiba saja dari payudara sebelah kanan ada ASI yang menetes. Artinya, ASI saya mulai keluar lebih banyak dari sebelumnya. Saya buru-buru panggil suami. Kami pompa dua PD saya secara bersamaan. Suami handle dengan pompa elektrik, sedangkan saya sibuk memerah manual.

Di situ, saya baru tahu kenapa banyak ibu menyusui yang bilang kalau ASI itu begitu berharga. Tiap tetesnya ternyata ada perjuangan yang amat sangat tidak mudah. Dukungan suami dan support system yang lain betul-betul dibutuhkan.

Setelah Ghazy pulang dari Rumah Sakit, alhamdulillah Allah cukupkan ASI untuknya. Bahkan, saya masih bisa stock beberapa ASIP di freezer.

ASIP


Epilog


Perjalanan saya untuk menyusui Ghazy tentu masih panjang. Ada banyak sekali cerita yang akan saya lalui lagi. Satu hal yang terus saya yakini dan coba untuk tanamkan dalam diri saya adalah ASI itu perkara rizki. Sementara Allah telah menetapkan rizki untuk anak saya. Bila kebutuhannya baru ASI saja, Allah pasti akan cukupkan itu. Tidak peduli seberapa sering anak saya memintanya.

Bukan berarti juga saya anti sufor. Tapi selama tidak ada kondisi darurat yang tidak memungkinkan saya untuk menyusui anak saya, ya ASI tetap jadi prioritas utama di 6 bulan pertamanya.

Semoga Allah mampukan saya. Teruntuk busui yang lain, semangat. Apapun yang sedang kalian lalui saat ini, you're not alone. 


With love,