"Kamu tuh sekarang udah enak, mau belajar apa aja bisa. Akses juga bisa dari mana saja. Zaman Mama dulu, mau bikin tugas akhir harus keliling perpus untuk cari referensi. Kalau sudah ketemu, semuanya langsung dicatat manual."
"Iya, sekarang memang semuanya serba mudah. Tapi Mama nggak tahu kan kalau distrkasi yang aku dapat juga banyak."
Itu percakapan antara teman saya dengan anak gadisnya yang sudah mau kuliah. Entah kenapa percakapan ini membuat saya jadi sadar kalau saya, sebagai ibu-ibu milenial ternyata tidak hanya dihadapkan dengan aneka kemudahan. Ada tantangan zaman dan tentu saja nyinyiran netizen++ yang perlu dihadapi dengan gagah berani.
Awalnya, saya sempat bertanya-tanya. Kenapa ibu-ibu di zaman digital yang punya kemudahan akses di mana saja bisa rentan terkena depresi. Pasca melahirkan, banyak ibu yang tidak hanya mengalami baby blues saja, tapi post partum depresion, bahkan postpartum psychosis. Kok bisa? Tapi setelah banyak merenung kembali, saya sadar bahwa jadi ibu-ibu milenial itu tidak sepenuhnya mudah. Ada tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi yang bisa jadi berbeda dari apa yang dialami oleh orang tua kita dulu.
Kali ini saya ingin membahas enak dan nggaknya jadi ibu-ibu milenial yang hidup di tengah zaman digital. Tentu saja ini dari pandangan saya pribadi ketika melihat fakta yang dihadapi.
Kemudahan Akses
Hidup di Zaman Digital seperti sekarang ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kemudahan akses itu betul-betul terpampang nyata. Saya ingat sekali, dulu waktu zaman kuliah, sering sekali membayangkan kalau saya akan mati kelaparan saat sedang sakit. Pasalnya, kondisi saya tidak memungkinkan untuk mencari makan. Teman kost juga banyak yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mau minta tolong sungkan. Sekarang? Rasanya saya tidak perlu khawatir lagi. Ada aneka rupa aplikasi untuk food delivery. Tinggal pilih menu, makanan langsung datang, tanpa kita perlu repot lagi.
Apa hanya makanan saja? O tentu tidak. Bahkan sekarang kalau sedang enggan bebersih rumah, ada jasa beberes rumah yang bisa diakses melalui aplikasi mobile. Tinggal klik, janjian, rumah beres. Semudah itu.
Mau ke mana-mana juga bisa mudah. Tidak ada kendaraan? Ada ojek online. Tinggal pilih saja, mau mobil atau motor. Misal tidak mau ojek online, masih ada banyak fasilitas transportasi umum yang makin ke sini, makin manusiawi. Perbaikan sarana transportasi publik terus menerus diperbaiki.
Tidak hanya itu, teknologi yang ada saat ini juga memungkinkan kita para ibu untuk belajar dari dan di mana saja. Mau baca dari buku? Perpustakaan banyak. Nggak sempet ke perpus? Ada perpustakaan digital. Ragam buku juga bervariasi, ada yang masih kertas, ada juga yang sudah paperless.
Sumber informasi juga tidak hanya kita dapatkan dari buku saja. Ada video-video pembelajaran yang tersebar di berbagai sosial media. Ada artikel-artikel di media online maupun sosial media. Banyak.
Bahkan kalau mau ikut kelas pun bisa. Nggak harus ke mana-mana, cuma modal HP dan kuota sudah bisa belajar.
Dunia Digital Bikin Insecure
Hidup di era digital memang memudahkan kita untuk berbagi banyak hal dan mendapatkan kemudahan akses di berbagai bidang. Nyatanya, kemudahan ini nggak selalu bikin buibu hidup happily ever after.
Sosial media contohnya. Sadar atau tidak, sosial media bisa membuat seseorang membandingkan kehidupan pribadinya dengan apa yang dia lihat di sana.
"Wah, Si A udah begini nih. Aku kapan ya?"
"Wah, anaknya Si B udah pinter aja, kok anakku masih gini-gini aja ya?"
"Romantis amat sama suaminya, suamiku mah boro-boro."
Dan banyak hal lain.
Lupa, kalau sebetulnya kehidupan yang dia jalani pun sudah amat sangat baik. Akhirnya ya, stress sendiri. Merasa tidak diperhatikan suami, padahal ya nggak juga. Cuma beda wujudnya aja. Merasa anaknya kurang ini itu sampai lupa kalau anaknya juga punya kelebihan di sisi yang lain.
Apakah hanya ini? O tentu tidak. Masih ada nyinyiran dari maha benar netizen, ya nggak? Banyak orang yang tiba-tiba ikut campur urusan orang, padahal kenal juga tidak. Begini salah, begitu salah. Bikin pusing sendiri.
Kemudahan akses ternyata juga seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk melakukan tindak kejahatan. Meretas akun lalu meminta sejumlah uang misalnya. Mencuri gambar untuk melancarkan proses tipu-tipunya. Banyak. Korbannya juga sudah banyak. Mau yang tua atau muda, semuanya bisa saja kena kalau lagi apes.
Tsunami Informasi
Kita memang bisa belajar dari dan di mana saja. Saking banyaknya informasi yang bisa kita akses, tidak jarang ini justru membuat tsunami informasi. Ambil saja contoh topik parenting. Kalau mau cari, itu akan keluar rentetan informasi yang kalau mau diturutin semua, dijamin ngos-ngosan. Belum apa-apa sudah pusing sendiri.
Sebetulnya, ini bisa saja dihindari kalau kita sudah paham celahnya. Untuk belajar pun ternyata kita juga harus tahu caranya. Kemudahan akses informasi bisa bikin pusing kalau ditelan sekaligus. Tapi semuanya akan mudah untuk dicerna kalau kita mau bikin "kurikulum" hal yang ingin kita pelajari.
Misal, tentang menjadi seorang ibu. Bisa kita mulai belajar sedikit demi sedikit terkait kehamilan, persalinan, perawatan bayi, lalu mulai belajar pelan-pelan tentang pendidikannya. Bahan bacaan juga perlu dipilih. Saya pribadi lebih suka membaca tulisan para pakar dibanding review orang lain. Jelas, penjelasannya bukan dari sisi kenyamanan pengguna saja, tapi ada penjelasan ilmiah yang lebih masuk di akal.
Kuliah online hari ini memang banyak sekali. Dari yang gratis sampai berbayar, semuanya ada. Kita tidak harus ikut semua sih kalau memang nggak sanggup. Batasi diri untuk ikut satu per satu saja. Kalau memang belum tahu kapan lagi diadakan, ya sudah legowo saja. Artinya, belum rejeki. Ini jauh lebih baik dari pada harus ikut semua, tapi banyak skipnya. Kan sayang juga.
Tantangan Zaman yang Makin Amazing
Kalau baca atau lihat berita hari ini, rasanya ngeri-ngeri sendiri. Pinginnya sih anak-anak dikekepin aja di rumah. Nggak jauh-jauh dari pantauan. Biar aman.
Aman dari apa?
Ya predator anak, penculikan, narkoba, pornografi, game online, sampai pergaulan bebas. Tapi kan ya nggak bisa gitu juga. Anak perlu belajar di luar rumah. Ketemu banyak orang. Bersosialisi.
Ini yang bikin mendidik anak zaman sekarang juga jadi lebih effort dari orang tua kita dulu. Bekal untuk anak sebelum masuk ke the real jungle tuh beneran harus merasuk ke dalam jiwa. Kalau nggak, bisa ikut tenggelam dalam pusaran arus yang ngeri-ngeri sedap tadi.
Memang, semua hal yang mengerikan itu bikin kita jadi aware dan belajar lebih giat. Tapi tidak bisa dipungkiri, kekhawatiran ini itu juga bisa bikin stress sendiri. Ya, nggak?
Pada akhirnya ya, kita cuma bisa usaha semaksimal mungkin dan tidak lupa menitipkan anak-anak kita ke yang punya. Siapa lagi kalau bukan Allah, ya kan?
Itu kalau soal anak. Sebagai ibu sendiri juga sekarang mulai menantang. Dulu, kebanyakan ibu ya merawat anaknya di rumah. Tapi sekarang karena tuntutan ekonomi, banyak ibu yang akhirnya harus ikut bekerja. Pergi pagi, pulang petang, sampai rumah masih digelendotin anak. Uwooow, nggak kebayang gimana capeknya. Saya aja yang kerja dari rumah dengan waktu yang suka-suka saya masih ngerasa capek. Apalagi yang keluar rumah dan bertarung dengan jalanan.
It's Okay Not to Be Okay
Kemudahan yang ada seakan-akan menuntut seorang ibu milenial untuk bisa lebih sempurna dari ibu-ibu dulu.
"Kamu sekarang enak bisa begini begitu, Ibu dulu..."
"Ibu dulu bisa begini begitu. Ya diatur dong."
Wow, banyak sekali ya tuntutannya. Di sisi lain, kita tidak pernah diajarkan untuk menjadi ibu. Boro-boro diajarin, ngasuh bayi ya pertama kali waktu abis lahiran itu. Kebayang ya gimana nano-nanonya perasaan ibu baru ini. Takut-takut urus anak, masih clekit-clekit pasca lahiran, dan masih saja dapat mom shaming dari kanan kiri.
Well, saya cuma mau bilang, it's okay not to be okay. Nggak apa-apa kalau kita belum bisa. Nggak apa-apa kalau kita tidak bisa sempurna. Nggak apa-apa. Manusia mana ada yang sempurna sih. Jadi ibu pun demikian.
Nggak apa-apa kalau kita nangis karena capek. Nggak apa-apa kalau kita mendadak bego gara-gara kurang tidur. Nggak apa-apa kalau dandanan kita lebih mirip zombie dibanding princess. Nggak apa-apa kok.
Saya percaya bahwa setiap ibu sudah mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya. Hanya saja, batas kemampuan masing-masing beda. Ujiannya saja beda.
Tentang hal-hal tidak menyenangkan yang kita baca, dengar, atau bahkan lihat, ya sudah biarkan saja. Tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kalau kita tidak mampu membungkam semua yang ada di luar sana, tenang. Kita masih punya dua tangan untuk menutup telinga dari hal-hal yang tidak ingin kita dengar.