-->

Selasa, 09 Juli 2019

Tinggal Serumah Bareng Orang Tua


Setelah nikah tinggal di mana? Ini jadi topik yang pasti akan dibahas oleh pasangan yang sedang mempersiapkan diri menuju pernikahan. Alhamdulillah, kalau ternyata salah satunya sudah punya tabungan dan bisa beli rumah. Tapi kalau belum, aneka opsi pilihan pun harus diambil. Mau kontrak rumah kah? Atau tinggal sementara di Pondok Orang Tua Indah?

pondok mertua


Masing-masing pilihan yang diambil tentu punya konsekuensi dan tantangan tersendiri. Kalau kontrak rumah, artinya harus menyisihkan uang untuk bayar kontrakan rumah. Kalau tinggal bersama orang tua, bisa hemat biaya sewa kontrakan, tapi harus siap dengan tantangan lain saat tinggal bersama orang tua.

Saya pribadi tidak pernah menjadikan Pondok Orang Tua Indah sebagai opsi tempat tinggal setelah menikah. Kalau memang tidak punya rumah, ya mari kita kontrak rumah saja. Pahit manisnya mari kita tanggung bersama. Alhamdulillah, setelah menikah kami berdua nggak sampai kontrak rumah atau tinggal serumah bareng orang tua.


Alasan Tidak Ingin Tinggal Serumah dengan Orang Tua


Ada beberapa alasan yang membuat saya enggan tinggal serumah dengan orang tua di awal-awal pernikahan. Bukan karena saya tidak mau direpotkan dengan orang tua. Demi Allah, bukan begitu. Tapi ada beberapa hal yang ingin saya bangun bersama suami saya, lepas dari campur tangan orang tua kami.

1.   Membangun Budaya Baru

budaya di rumah


Setiap keluarga biasanya punya budaya sendiri-sendiri. Budaya yang dibangun dalam keluarga biasanya akan membentuk karakter dari tiap individu. Sebelum menikah, perbedaan budaya semacam ini mungkin belum terasa. Tapi setelah menikah, hidup bersama selama 24 jam 7 hari, semua jadi tantangan tersendiri.

Kenapa? Nggak semua kebiasaan yang dibawa dari rumah masing-masing akan membuat nyaman satu sama lain. Nggak sedikit hal sepele yang kemudian menjadi drama dalam rumah tangga hanya karena perbedaan budaya ini.

Sebetulnya ini bukan masalah besar, setiap rumah tangga muda pasti akan mengalaminya. Pada akhirnya masing-masing dari kita akan punya toleransi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Hal menarik yang muncul dari toleransi ini adalah terbangunnya budaya yang baru. Masing-masing punya kebiasaan yang dibawa dari rumah. Ada yang baik, ada juga yang buruk. Banyak atau sedikit biasanya beberapa kebiasaan ini akan tertularkan pada satu sama lain. Tanpa disadari mulailah terbentuk budaya yang baru. Seperti, aturan makan di meja makan, atau aturan-aturan yang lain.

Budaya semacam ini juga yang nantinya akan menjadi salah satu point dalam mendidik anak. Ketika suami dan istri sudah sejalan, tentu akan lebih mudah dalam mengarahkan anak. Hal menantang lain akan datang ketika kita tinggal dengan orang tua. Membangun budaya dalam rumah tangga sendiri tentu menjadi PR lagi. Belum lagi masalah standar ganda yang amat mungkin terjadi saat nanti tinggal bersama dengan orang tua.

2.   Lebih Mandiri

mandiri


Mau umur 5 tahun atau 25 tahun sekalipun, bagi orang tua, kita tetaplah anak-anak. Saran dan nasehat akan terus mengalir pada kita. Bahkan, bantuan yang sering kali tidak kita minta juga akan mereka berikan. Semua itu karena kasih sayang mereka.

Sayangnya, hal semacam ini jadi berbeda ketika kita sudah berkeluarga sendiri. Besar atau kecil, keterlibatan orang tua ke dalam masalah-masalah kita itu pasti ada. Padahal, kita dan pasangan juga butuh ruang untuk belajar menyelesaikan persoalan daam rumah tangga sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Menikmati setiap proses keberhasilan maupun kegagalan bersama-sama sebagai bagian dari proses belajar.

Salah satu contoh kecil, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Tinggal bersama orang tua dan tidak tentu berbeda. Saya coba bandingkan dengan pengalaman pribadi saat mertua atau orang tua saya berkunjung ke Bogor selama beberapa hari. Kalau ada mereka, saya lebih selow soal urusan masak. Entah itu ada tenaga bantuan mendadak, atau bahkan take over urusan masak oleh ibu.

Awalnya, nggak nyaman ketika area kerja saya �diobok-obok� oleh orang lain. Maunya masak A dengan kreasi sendiri, biasanya akan ada campur tangan lain yang nggak jarang bikin mood masak hilang. Lama-lama, saya coba untuk kasih ruang. Kalau saya yang masak, coba tutup kuping sama tenaga pembantu, kecuali saya minta. Tapi kalau mereka lagi pingin masak makanan tertentu, ya saya yang akan mundur jadi pemeran utamanya.

Itu masih soal urusan masak. Belum bagaimana mendidik anak dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain.


3.   Kenyamanan Bersama

kenyamanan


Orang tua saya adalah orang asing bagi suami saya. Sebaliknya, mertua saya adalah orang asing bagi saya. Ketika tinggal bersama dengan orang tua saya, mungkin akan ada perasaan tidak nyaman bagi suami saya untuk melakukan ini itu. Ruang gerak jadi amat rerbatas karena sungkan dan sebagainya. Begitu pula saya ke mertua.

Ini sebetulnya perkara waktu. Lama kelamaan ketidaknyamanan itu akan hilang dengan sendirinya.

Meski begitu, tetap beda rasanya tinggal bersama orang tua dan tidak. Kita dan pasangan butuh area private sendiri tentunya. Area ini biasanya akan jadi semakin sempit saat ada orang lain. Mau jalan-jalan godain suami dari dapur ke kamar juga nggak memungkinkan kalau ada orang tua. Mau pakai baju agak seksi dikit juga nggak bisa, kecuali pas udah di kamar aja. Iya, saya tahu, setelah punya anak, hal semacam itu juga akan berkurang. Tapi setidaknya kita bisa punya waktu sendiri lebih lama bareng pasangan.

Ketika Tinggal Bersama Orang Tua Menjadi Suatu Keharusan

orang tua


Saya nggak berani bilang bahwa pilihan yang saya ambil adalah pilihan terbaik. Menurut saya, kondisi tinggal sendiri adalah kondisi ideal bagi pasangan muda yang baru menikah. Sayangnya, nggak semua bisa memilih kondisi ini. Ada beberapa alasan yang mengharuskan kita untuk memilih tinggal bersama dengan orang tua.

Saya punya teman yang punya kondisi demikian. Dia tinggal bersama ibunya. Ayahnya masih hidup memang, tapi orang tuanya bercerai saat dia masih amat sangat kecil. Bahkan, kenal siapa ayahnya saja baru setelah dia kuliah. Dulu, dia tinggal bersama kakek neneknya. Sekarang keduanya sudah meninggal.

Ibunya adalah anak tunggal. Tanpa sanak saudara. Bagi ibunya, teman saya ini adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Nggak ada yang lain. Setelah usia senja, tentu sulit bagi teman saya ini untuk meninggalkan ibunya sendiri. Mau tidak mau ya mereka harus tinggal bersama.

Tantangan demi tantangan pernah dia lalui, salah satu hal krusial yang terjadi adalah dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Salah satu contoh adalah perihal minum ASI. Anak pertamanya terbiasa minum susu formula sejak bayi. Bukan karena dia tidak mampu memberikannya, tapi karena neneknya yang tidak tega melihat cucunya menangis kelaparan sementara ibunya masih dalam perjalanan. Teman saya sering sekali gagal memberikan ASI pada anaknya, padahal kondisi ASI di payudaranya sudah amat penuh dan minta untuk dikeluarkan.

Dalam kasus yang lain, pernah juga si anak jadi berbohong padanya. Anaknya dilarang makan mie instan. Kita tidak perlu lagi mempertanyakan apa alasannya, bukan? Tapi kemudian neneknya memberinya mie instan dengan pesan, �jangan bilang Mama, ya.�

Agak kacau untuk mendidik dan mengasuh anak pertama ini. Pertama, dia sendiri masih belajar dan belum paham formula terbaik untuk mendidik anaknya. Kedua, ada ibunya sendiri yang sering kali merasa caranya yang terbaik karena ada bukti real yang sudah jadi. Padahal, zaman berkembang, tantangan berubah. Banyak penelitian yang juga menjelaskan mana yang baik dan buruk, tidak hanya asal mengikuti apa kata orang dulu saja.

Itu tadi contoh ketika kita harus tinggal dengan orang tua sebagai balas jasa. Kebetulan orang tuanya juga mau diajak tinggal bersama. Memangnya ada yang nggak mau? Ada.

Nenek saya, ibunya Ayah, usianya sepuh. Jalannya saja sudah tak bisa selincah dulu. Ada beberapa masalah kesehatan juga yang dia derita. Tapi sulit sekali mengajaknya untuk tinggal bersama salah satu anaknya. Ayah saya dan saudara-saudara Ayah yang lain pernah menawarkan hal ini, tinggal pilih mau tinggal dengan siapa. Sayangnya, beliau tidak mau. Akhirnya, anak-anaknya jadi sering bolak-balik kota-desa bergantian untuk mengecek kondisi beliau.

Meski hari ini kita tinggal bersama keluarga kecil kita sendiri, mungkin aka nada masanya kita akan menjemput orang tua kita untuk tinggal bersama kita. Karena faktor usia maupun kesehatan, itu pasti akan jadi bahan pertimbangan. Saya pribadi sulit membayangkan untuk mengirim orang tua sendiri ke Panti Jompo, tidak sampai hati rasanya. Apalagi saya masih mampu untuk merawat.

Saat ibu sakit, saya galaunya bukan main. Kami terpisah jarak yang begitu jauh. Saya di Bogor dan orang tua saya di Malang. Sulit untuk membawa ibu ke Bogor karena dia masih punya amanah yang harus diselesaikan di sana. Jelas tidak maunya. Saya sendiri juga sulit kalau harus tinggal bersama orang tua saya dan terpisah dengan suami, apalagi saat itu kami baru saja menikah. Banyak malam yang saya habiskan dengan menangis. Nggak jarang juga saya jatuh sakit karena terlalu banyak pikiran.

Alhamdulillah, sekarang kondisinya membaik. Hari ini kondisi kami masih tetap sama. Saya belum bisa tinggal di Malang, begitu juga dengan orang tua saya, tidak bisa tinggal di Bogor. Saya Cuma bisa berdoa mereka selalu dilindungi oleh Allah dan terus diberikan kesehatan di usia mereka yang makin lanjut. Aamiin�