-->

Minggu, 07 Juli 2019

Bukan Pernikahan Cinderella

Perjalanan hidup yang sesungguhnya itu nggak ada yang macem cerita Cinderella. Pas lagi susah dan pingin sesuatu, tiba-tiba muncul ibu peri baik hati yang merubah semua kondisi. Pas pingin nikah, ngedadak ditaksir pangeran tampan, dinikahi, then they happily ever after. Ini cuma kisah fantasi yang hanya ada di dongeng. Sampai kapanpun, segetol apapun berharap, kisah ini nggak akan pernah jadi nyata.

tak seindah negeri dongeng


Perjalanan menuju pernikahan itu sendiri juga nggak segampang Cinderella nemuin Pangeran Tampan. Apalagi dengan bantuan sihir dari Ibu Peri. No! Ada kalanya kita harus melalui jalan cerita yang penuh dengan lika-liku buat ketemu orang yang Allah takdirkan untuk kita. Ada kalanya, kita harus gagal berkali-kali, patah hati berkali-kali untuk belajar mencintai makhluk secukupnya saja.

Setelah nikah juga nggak ngedadak jadi live happily ever after. Pernikahan adalah lembaran hidup baru. Di dalamnya, kita bukan hanya siap untui bahagia bareng pasangan, tapi pun berjuang bersamanya.

Saya jadi inget wejangan dari sahabat saya sebelum saya menikah dulu.
�Kamu nggak akan pernah nemu pria sempurna macem di kisah Cinderella. Setelah menikah juga nggak ada itu happily ever after yang hidupnya bahagia terus, tanpa air mata. Nggak ada yang begitu itu.�

Beberapa orang bilang, bahkan urusan handuk aja bisa membawa air mata. Setelah nikah, barulah saya paham kenapa begitu. Banyak hal sepele yang ternyata bisa jadi pemicu drama antara suami istri kalau nggak ngerti gimana cara nyikapinya.

Perjalanan 1 Tahun Pernikahan

satu tahun pernikahan


Nggak kerasa ternyata pernikahan saya dan Mas udah menginjak usia 1 tahun. Ibarat bayi nih, masih merangkak banget. Masih banyak sekali hal yang perlu kami pelajari.

Hari ini saya justru ingin kembali mengingat perjuangan yang sudah pernah kami lalui bersama. Berdarah-darahnya jadi istri Ghoffar Setiawan sampai hal yang paling menyenangkan mendampinginya selama setahun ini.

Banyak orang yang bilang bahwa 3 bulan pernikahan itu adalah masa-masa indah. Masa honeymoon, masa kenal satu sama lain, semuanya kelihatan menyenangkan. Tapi buat kami, justru itu yang paling menantang.

Setelah menikah, saya masih terikat kontrak kerja dengan PENS. Artinya, saya harus penuhi tanggung jawab saya sebagai dosen dulu sebelum saya resign. Satu bulan berjibaku menyelesaikan pekerjaan supaya kalau saya resign yang meneruskan mudah. Sibuk sekali itu iya.

Sedangkan suami saya, masih ada pekerjaan di Probolinggo sana. Satu di Surabaya, satu lagi di Probolinggo. LDM? Tidak. Selama kami bisa mengupayakan untuk bisa sama-sama ya kenapa harus LDM?

Apa konsekuensinya?

Ya jadi gantian yang PP Surabaya-Probolinggo. Kadang saya, kadang suami. Kalau saya nggak banyak aktivitas di kampus, saya PP Surabaya-Probolinggo. Berangkat dari Probolinggo pagi, pulang ke Surabaya sorenya.

Capek nggak? Jangan ditanya lagi gimana rasanya. Hahahaha. Pernah, saking capeknya saya ketiduran di kereta terus kebablasan. Sedangkan suami saya, dia juga ketiduran di mobil. Berharap saya datang dan bangunin dia. Ternyata ya gitu deh.

Epic banget waktu itu. Bingung harus gimana karena udah larut malam dan saya perempuan sendirian. Akhirnya, saya pilih turun stasiun terdekat, minta tolong petugas untuk hubungi stasiun Probolinggo. Buat apa? Bangunin suami saya.

Amazing bener deh.

hahaha


Lepas dari semua capek dan kehebohan itu, kami bahagia bisa kumpul jadi satu setiap hari. Hal semacam ini mungkin nggak bisa dipahami oleh orang lain.

"Kok mau sih?"

Ada masanya juga saya harus ikut suami pindah dari satu kota ke kota yang lain. Itu setelah resign. Itu juga masyaa Allah capeknya.

Ujian lain datang dari orang tua saya. Ibu yang belum bisa menerima ditinggal kedua anaknya. Saya ikut suami, adik kuliah ke Bangkok. Jadilah orang tua saya berdua aja di rumah. Hal menyebalkan yang saat itu terjadi adalah justifikasi yang terus menerus ibu saya lontarkan hanya untuk menenangkan dirinya.

Masya Allah. Capek fisik. Capek hati. Beneran. Akhirnya, saya tumbang. Asam lambung naik. Badan lemes-lemes. Mirip betul dengan orang yang hamil muda.

Waktu itu, saya sempet GR kalau saya hamil. Faktanya nggak gitu. Hasilnya negatif. Bulan-bulan berikutnya saya dihadapkan pada siklus PMS yang nggak biasa dari sebelum menikah. Hampir tiap mau datang bulan saya sakit yang begitu itu. Mual-muntah-lemes. Mirip orang hamil muda. Tapi lagi-lagi setiap testpack hasilnya selalu negatif.

Apa rasanya? Pingin nangis tiap kali lihat hasil testpack. Segala gejala yang saya alami itu justru memupuk harapan yang begitu tinggi tentang kehamilan. Nyatanya, Allah belum izinkan saya hamil.

Suami selalu menenangkan. Bilang kalau kami masih bisa coba lagi.

Ini kenapa saya sebel banget sama orang yang tanya apa saya udah isi atau belum? Kok sampai saat itu saya belum isi juga? Hei kamu, kamu nggak tahu ya gimana jungkir baliknya kami mengupayakan itu semua. Kamu nggak tahu apa yang selama ini saya alami. Kamu nggak tahu rasanya di PHP sama tubuh sendiri.

angry


Singkat cerita, ketika saya sudah betul-betul berhenti untuk berharap dan menyerahkan sepenuhnya ke Allah, rizki itu datang. Masyaa Allah, itu hadiah paling indah yang hadir dalam pernikahan kami.

We�re Not Perfect

ghoffar


Kalau kita mencari kesempurnaan yang ada pada pasangan, itu nggak akan pernah ada. Sulit buat nemu laki-laki sempurna yang bisa memenuhi segala ekspektasi kita pada pernikahan itu sendiri. Apalagi kalau pikiran kita udah mulai keracunan film-film Princess Disney yang punya ending happily ever after dan drama korea.

Suami saya bukan orang yang sempurna. Kalau mau cari kesalahan dan kekurangannya dia, banyak. Kalau mau cari hal menyebalkan dari dia, juga banyak. Begitu pula suami saya pada diri saya. I�m not perfect too. Perjalanan satu tahun pernikahan ini mengajarkan saya untuk lihat suami saya dari banyak sisi. Bukan hanya dari kekurangannya aja.

Saya sebetulnya suka gemes dengan postingan ibu-ibu yang menuntut suaminya ini itu karena merasa sudah lelah ngurus rumah, anak, melahirkan, dan lain-lain. Kenapa harus menuntut demikian? Bukankah kita punya ladang ibadah masing-masing?

huft


Suami memang nggak bisa sepenuhnya concern untuk urus rumah dan anak. Suami juga nggak bisa melahirkan. Nggak ngerti beratnya melahirkan itu kayak gimana. Tapi buat saya, ketika suami saya keluar rumah mencari nafkah yang halal, capek-capek menempuh perjalanan Jakarta � Bogor selama 2 jam itu udah wow. Hilang sudah tuntutan ini itu ke suami.

Saya capek. Tapi saya juga tahu kalau suami saya pun sama lelahnya.

Alih-alih lihat kekurangan suami, saya lebih memilih lihat bagaimana usahanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Bagaimana dukungan dia pada diri saya. Bagaiamana upayanya untuk membantu saya meski dia lelah. Banyak hal baik yang nggak bisa saya sebut satu per satu tentang suami saya.

Satu tahun perjalanan pernikahan kami, mengajarkan saya hal ini.

�Kita bisa memilih untuk terus menerus kesal pada suami dengan terus melihat kekurangannya. Tapi kita juga bisa memilih untuk belajar memupuk cinta dengan melihat aneka kebaikan yang ada padanya.�

Bagaimana cara pandang kita yang sejatinya akan menentukan sikap kita selanjutnya. Apakah kita akan menghormati suami atau memandang remeh dirinya? Apakah kita akan memperlakukannya dengan sepenuh cinta atau justru sebaliknya?

Saya yakin bahwa setiap rumah tangga pasti mengharapkan sakinnah, mawaddah, dan rahmah. Saya pun demikian. Tapi bagaimana caranya kita bisa meraih itu semua kalau hampir setiap hari kita ribut terus dengan suami? Bagaimana caranya kita bisa meraih itu semua, bila rumah tangga yang kita jalani serasa seperti neraka untuk kita? Komunikasi nggak lancar. Satu sama lain saling nuntut. Dan masih banyak lagi.

Lalu, apakah dengan ini saya abai dengan kekurangan suami? Tidak. Saya belajar untuk memperbaiki kekurangannya dengan menggunakan bahasa cinta. Mengajaknya untuk berbenah dengan cara saya sendiri. Sama seperti bagaimana suami saya mendidik saya.

Rumah tangga yang kami bangun selama setahun ini bukan berarti tanpa riak sedikit pun di dalamnya. Bertengkar antara yang satu dengan yang lain itu pernah. Menangis pun pernah. Tapi biarlah itu semua jadi bumbu manis yang menghiasi perjalanan pernikahan kami.

Sebuah Asa untuk Masa Depan

bergandengan tangan


Saya tahu bahwa perjalanan yang kami tempuh masih sangatlah panjang. Ada banyak alang rintangan di depan yang harus kami lalui bersama. Saya hanya mampu berharap dan berdoa agar kami terus diberikan kekuatan dan kewarasan dalam menghadapi sejengkal demi sejengkal ujian yang Allah berikan untuk kami. Genggaman tangan kami untuk menyelesaikan semuanya bersama bisa makin erat lagi.

Pernikahan ini bukan hanya untuk mencari kebahagiaan satu sama lain. Tapi kami sungguh berharap pernikahan ini bisa menjadi wasilah kami yang mampu mengantarkan kami ke surga. Semoga Allah menguatkan langkah kaki kami untuk terus beriringan meraih itu semua. Aamiin�


with love,
lelly fitriana