-->

Minggu, 19 Juli 2020

Melatih Anak Mengendalikan Emosi Sejak Dini

kontrol emosi anak

Sekarang ini usia Ghazy sudah genap 8 bulan. Segala kemampuannya semakin banyak berkembang. Ya motorik kasar, halus, oromotor, bahasa, dan sosio-emosionalnya. Makin ke sini, mengasuh Ghazy betul-betul butuh energi ekstra. 

Ghazy sekarang makin suka eksplorasi banyak hal. Suka bergerak ke sana ke mari. Dia juga belajar memahami bagaimana respon saya terhadap apa yang dia lakukan. Tentu saja, nggak semuanya menyenangkan. Ada juga yang bikin menghela napas cukup panjang. Apalagi kalau bukan ketika dia mulai meluapkan emosinya.

Please, jangan dibayangkan Ghazy teriak-teriak sambil bilang sesuatu. Please, jangan. Karena nggak begitu. Anak saya ini bukan anak ajaib kok. Masih bayi biasa.

Bayi yang kalau kepingin sesuatu akan mengutarakan dengan bahasanya yang sulit dipahami oleh kita. Lalu, kalau sudah frustasi, dia akan menangis. Sebiasa itu Ghazy. Sama seperti bayi pada umumnya, bukan?

Dari sini, saya merasa semakin perlu untuk mengajarkan Ghazy untuk bisa mengelola emosinya dengan baik. Menurut saya, semakin awal akan semakin baik. Biarlah hari ini saya repot-repot dulu. Asal, nanti dia tahu bagaimana cara menyalurkan emosinya dengan benar.

Siapa yang Belajar Mengendalikan Emosi?

kontrol emosi anak

Judulnya memang mengajarkan anak. Realitanya, bukan hanya anak yang belajar. Kita, sebagai orangtua, pun ikut belajar untuk mengendalikan emosi.


Ada seorang teman yang bilang kalau bayi itu seperti spons. Dia bisa menyerap emosi yang bisa kita rasakan. Kalau kita dalam kondisi emosi yang tidak stabil, bayi pun akan cenderung lebih mudah rewel.

Sejujurnya, saya belum pernah membuktikan hal ini. Bahkan, saya tidak berharap untuk membuktikan hal ini. Sedari Ghazy lahir pesan untuk mengendalikan emosi dan panik itu selalu saya pegang dan coba terapkan. Tidak mudah memang. Tapi harus dicoba.

Sejauh ini, serewel-rewelnya Ghazy, tidak pernah yang sampai berlarut lama sekali. Dalam waktu singkat saja, dia sudah bisa dikendalikan. Entah itu dengan disusui atau digendong hingga tertidur. 

Makin ke sini, ujian mengendalikan emosi ini mulai naik level. Ghazy mulai rewel kalau keinginannya tidak dituruti. Dia juga rewel kalau diminta pause main karena harus pakai baju. Dia pun suka sekali menggoda saya dengan melakukan apa yang saya larang.

Banyak hal dari aktivitasnya yang memicu saya untuk menaikkan satu oktaf nada bicara saya. Sungguh, saya tidak ingin lebih tinggi lagi. Apalagi sampai hilang kendali dan mulai ringan memukul anak saya. No, no, no! Jangan sampai.

That's why, saya pun belajar sembari mengajarkan dia mengendalikan emosinya. Belajar untuk memahami apa yang dia mau. Lalu, saya mulai mengarahkan dia untuk menyalurkan ke jalan yang benar.

Well, tulisan Mama Ina tentang bagaimana cara mengelola emosi saat bersama si kecil betul-betul amat sangat membantu. Kalau kamu punya keresahan yang sama dengan saya, coba deh tengok tulisan Mama Ina ini.

Cara Melatih Anak Mengendalikan Emosi

kontrol emosi anak

Ada satu hal yang perlu kita dan anak pahami saat belajar mengendalikan emosi, yaitu semua emosi itu boleh untuk dirasakan. Apapun itu, termasuk emosi yang tidak menyenangkan. Misalnya, menangis atau marah.

Emosi itu bukan sesuatu yang benar atau salah untuk dirasakan. It's okay kalau mau nangis. It's okay kalau mau marah. Ini fitrahnya manusia. 

Masalahnya itu bukan pada bagaimana apa yang dirasakan. Tapi bagaimana cara menyalurkan yang benar. Itu PR-nya.

Anak-anak perlu diajarkan untuk memvalidasi perasaannya sebelum belajar mengelolanya. Kalau proses validasi perasaan saja sudah dilarang, bagaimana akhirnya emosi itu bisa disalurkan dengan benar.

Ada empat hal yang biasa saya lakukan untuk mengajarkan Ghazy mengendalikan emosi. Apapun emosinya. Proses ini tentunya bertahap. Nggak bisa kalau sekarang coba, terus besok sudah berhasil. Belum tentu. Tapi setidaknya, inilah yang biasa saya lakukan.

1. Perkenalkan emosi apakah itu

Saat awal penciptaan manusia, Nabi Adam bisa tahu segala jenis benda karena Allah yang kasih tahu. Artinya, manusia akan tahu suatu hal setelah terinstall informasi baru ke memori mereka.

Inilah yang akhirnya saya coba lakukan ke Ghazy. Memperkenalkan emosi kepadanya. Cara yang biasa saya lakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan.

"Ghazy, kenapa nangis?"

"Lho, Ghazy marah?"

"Seneng, Nak?"

Memang, bentuknya adalah pertanyaan, bukan pernyataan. Tapi, dalam satu frasa kalimat, saya coba kenalkan emosi yang sedang dia rasakan.


2. Cari tahu dari mana sumbernya

Setelah mengenalkan emosi apa itu, biasanya saya akan cari tahu lagi dari mana sumbernya. Apa yang membuat dia senang, menangis atau marah?

"Ghazy ngantuk?"

"Seneng ya main sama Ummi?"

"Nyariin Ummi, ya?"

Untuk anak seumuran Ghazy, sulit bagi dia untuk mengutarakan apa yang dia rasa. Di sinilah peran saya sebagai orangtua yang harus mampu memahami apa maksudnya. Saya biasanya coba mencari tahu lewat gestur tubuh Ghazy.

3. Beri ruang untuk menyalurkan emosi

Sama seperti kita, anak-anak pun butuh ruang untuk menyalurkan emosinya. Apakah itu dengan pelukan, tangisan, atau cara yang lain.  Biasanya, setelah tahu apa yang terjadi, saya akan beri dia ruang untuk menyalurkan emosinya.

Kalau menangis karena marah, sendirian, atau kesakitan, ya saya gendong sambil tepuk-tepuk punggungnya. Kalau dia ngantuk ya saya keloni aja. 

Lalu, bagaimana kalau anak sudah lebih besar dan bisa bercerita? Kita bisa memberi ruang untuk mendengarkan apa yang dia rasakan sebelum memberikan apa yang mereka butuhkan. Misalnya, pelukan.

Untuk anak yang lebih besar pula, tahap ini bisa dibalik dengan tahapan sebelumnya. Jadi, beri dia ruang dulu untuk menyalurkan emosinya. Misal, dia pingin menenangkan diri atau menangis. Biarkan saja dulu. Jangan tanya sebabnya kalau anak belum siap untuk cerita.

4. Bila keliru, tunjukkan cara yang benar

Cara anak bersikap itu erat kaitannya dengan bagaimana kita memberikan feedback dari segala hal yang dia lakukan. Mereka belajar tentang bagaimana reaksi orangtuanya kalau mereka melakukan suatu hal.

"Kalau aku nangis, Ummi gimana ya?"

"Kalau aku angkat tangan, Abi ngapain aku ya?"

"Kalau aku sembur-sembur gini, reaksi Ummi gimana ya?"

Nah, di sinilah kuncinya. Kalau kita keliru memberikan feedback atau bahkan membiarkan anak melakukan hal ini, dia akan terus menerus melakukan kesalahan. Kita yang jadi semakin repot nanti. Jadi, kalau caranya mengekspresikan emosi keliru, ya betulkan.

Ghazy ini sebetulnya anak yang manis. Seringkali diam-diam dia mendekat ke arah saya dan mencium saya, tanpa saya minta. Adakalanya juga, setelah mencium saya memukul pipi saya cukup keras.

Saya tahu bahwa sebetulnya Ghazy tidak bermaksud menyakiti saya. Bisa jadi dia ingin ngelus Umminya. Sayang, dia belum bisa mengendalikan tangannya. Biasanya, saya akan arahkan tangannya untuk mengelus pipi saya secara perlahan.

Kalau sedang marah karena nggak dituruti atau bisa melakukan sesuatu, saya akan arahkan dia untuk bersabar. Kan nggak semua hal harus dituruti. Apalagi kalau hal yang dia minta berbahaya.

Sikap Orangtua Saat Melatih Anak Mengelola Emosi

kontrol emosi anak

Semakin sering baca artikel tentang inner child, semakin saya sadar bahwa anak amat perlu untuk diajarkan bagaimana mengelola emosinya sedari dini. Keberhasilan proses belajar ini bukan hanya dilihat dari usaha anak untuk berproses dari hari ke hari, tapi juga dilihat dari kita sebagai orangtua.

Anak akan mampu mengendalikan emosinya  ketika kita bisa mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya. Anak juga akan mampu menyampaikan apa yang dia rasa ketika kita mampu menjadi media untuk mengeluarkan apa yang dia rasakan. 

Dari sini pula, kita juga harus paham bahwa ada beberapa hal yang perlu disiapkan. Apa saja itu? 

1. Telinga untuk Mendengar

Ada satu alasan kenapa saya enggan sekali bercerita ke ibu saya, beliau enggan untuk benar-benar mendengarkan saya. Alih-alih membiarkan saya selesai bercerita, beliau sudah potong dulu dengan ceritanya. Bahkan, memberikan nasehat yang tidak jarang terasa menyudutkan saya.

Berkaca dari apa yang saya alami, saya jadi sadar betapa besar kemampuan orangtua untuk mau benar-benar mendengarkan anaknya. By the way, kemampuan mendengar ini tidak ditentukan dari normal tidaknya telinganya ya. Bukan itu. Tapi tentang mendengarkan secara aktif.

Jujur, ini sulit sekali. Ego manusia yang membuat seseorang berhenti mendengarkan dan langsung lompat ke solusi akhir. Padahal, bisa jadi yang diinginkan orang yang bercerita ini bukan solusi. Tapi ruang untuk mengeluarkan segala hal yang berkecamuk dalam dirinya.

Menariknya, kemampuan mendengar ini sulit dilakukan oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Contoh, orangtua ke anaknya. Jujur saja, saya tidak ingin menjadi bagian dari orangtua yang sulit mendengarkan anaknya.

Kenapa? Ketika saya gagal dalam proses ini, maka anak saya akan lebih nyaman menceritakan masalahnya pada orang lain. Alhamdulillah, kalau ada bimbingan dari mereka. Bagaimana kalau makin menyesatkan? Naudzubillah min dzalik.

2. Sentuhan yang Menenangkan

Ketika sedang kalut, lalu ada orang yang menepuk bahu kita atau bahkan memberikan pelukan. Kalau saya, sudah pasti ambyar sih. Sekalipun tidak ada kata-kata yang keluar, air mata bisa terurai deras. Sekuat itulah kekuatan sentuhan. Dia bisa memberi ketenangan pada hati yang tengah berkecamuk.

Saya yakin, banyak orang yang seperti saya. Ini sebabnya, ketika anak kita mulai kesulitan untuk mengendalikan emosinya, coba tawarkan sentuhan ke dia. Apakah dia ingin dipeluk agar lebih tenang ataukah berpegangan tangan dengan kita? Kemudian lakukan apa yang dia minta.

3. Jarak untuk Memberi Ruang

Tidak selalu orang yang sedang emosi butuh telinga atau sentuhan. Bisa jadi, dia hanya butuh ruang untuk menyendiri. Menenangkan segala pikiran sendiri. Hingga akhirnya, dia siap untuk bercerita atau mendapatkan solusi dari permasalahannya.

Penutup

Bagaimana buibu pakbapak? Nampaknya memang banyak sekali PR yang harus dikerjakan ya. Jadi, dari pada pening, mari kita kerjakan saja.

Kalau kalian, biasanya gimana nih? Tulis di kolom komentar ya.