Harusnya sih, tulisan ini dipost waktu 17 Agustus kemarin. Tapi belum jadi-jadi dan akhirnya mundur sampai sekarang. Nggak apa-apa lah ya. Asal masih semangat Agustusan.
Ngomongin soal Agustusan nih. Kalau yang lain bahas tentang kemerdekaan atau lomba-lombaan, saya mau bahas yang lain. 17 Agustus jadi moment lain yang tidak terlupakan. Pada tanggal yang sama, setahun yang lalu, hari ini menjadi hari pertama saya menginjakkan kaki di Bogor.
Apa rasanya? Deg-degan sudah pasti. Excited juga.
Sejujurnya, saya merasa bebas sekali bisa tinggal jauh dari orang tua. Sedikit sekali intervensi dari mereka itu bagi saya menenangkan. Ya sih, kalau kangen itu repot. Nggak bisa sewaktu-waktu pulang ke rumah. Harus nunggu libur panjang dulu dan dananya cukup untuk pulang. Tapi, tetep aja, jauh dari orang tua itu rasanya merdeka.
Lepas dari itu, ada sesuatu yang bikin saya deg-degan sekali. Ini adalah kali pertama saya hidup bertetangga. Mmmm... Bukan berarti dulu saat tinggal dengan orang tua tidak pernah begini. Tapi kan posisinya sekarang beda. Saya yang harus mulai mengenalkan diri. Saya yang harus mulai menampakkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru saya. Buat saya yang orangnya susah untuk langsung akrab dengan orang lain, hal ini betul-betul jadi tantangan tersendiri.
Pengalaman Hidup Bertetangga
Banyak hal yang pingin banget disampaikan terkait hidup bertetangga selama setahun lebih ini. Dan, inilah rangkuman dari pengalaman hidup bertetangga selama setahun di Bogor.
1. Sulit untuk Bergaul dengan Tetangga
Kebetulan saya tinggal di area perkampungan yang kebanyakan dihuni oleh lansia. Anaknya sudah besar-besar. Rambutnya sudah memutih. Jalannya juga beberapa sudah mulai tertatih.
Orang Sunda yang sepuh-sepuh begini sebetulnya ramah sekali. Saya merasa dirangkul oleh mereka. Tapi ya karena gap usia yang terlampau jauh, gimana mau gaulnya coba?
Bukan hanya itu saja sih masalahnya. Kendala bahasa juga kerap terjadi. Tetangga saya banyak sekali yang sudah lansia. Saya senang mereka ramah-ramah, suka menyapa, dan begitu perhatian pada saya. Tapi ya itu, ngomongnya pakai Bahasa Sunda. Ya mana saya ngerti mereka ngomong apa. Jadi, kalau diajak ngomong ya cuma senyam-senyum aja tanpa tahu apa artinya.
2. Sering Ketinggalan Berita
Waktu awal-awal tinggal di sini, saya suka baper. Kenapa ya susah sekali berbaur dengan tetangga? Ini beneran nggak ada acara kumpul-kumpul RT sama sekali? Kok rasanya cuma pengajian aja ya. Itu pun saya jarang hadir karena berhalangan.
Hingga suatu hari waktu saya jajan di warung depan rumah, saya ketemu Bu RT.
"Kok nggak pernah ikutan acara RT."
Beneran macem orang bego sih. Tapi saat itu memang saya nggak tahu acara apa saja yang bikin semuanya kumpul jadi satu, kecuali pengajian rutin mingguan.
Ada arisan, kelewat. Senam RT, kelewat juga. Belum lagi acara-acara lain di luar agenda rutin RT, sudah pasti kelewat.
Nggak cuma itu aja sih, kalau ada tetangga hajatan, keluarga saya juga nggak diundang. Suami lumayan sering nanya tuh kalau tetangga ada hajatan.
�Kita nggak diundang, Dek?�
Ya, gimana ya? Faktanya memang nggak diundang. Saking nggak dikenalnya sama warga sini. Cuma sekali sih mereka undang saya dan suami. Itu waktu kami baru awal-awal nikah dulu. Setelah itu, nihil.
3.Sedikit Sekali Kumpul dengan Tetangga
Bu RT saya ini orangnya perhatian banget. Tahu kalau saya miss sana sini, akhirnya saya dimasukkan ke whatsapp Group RT.
Wooow... Welcome to the new group.
Dari WAG ini, saya jadi dapat banyak informasi tentang agenda RT. Ya senam, ya cucurag, ya arisan. Tapi, sayanya nggak bisa ikut. Hiks.
Agenda RT selalu saja bentrok dengan agenda saya yang lain. Pernah juga sih nggak begitu. Sudah direncanakan mau marathon agenda. Ya kajian, ya kondangan, ya cucurag RT. Mumpung bisa, pikir saya. Qadarullah, badan saya drop. Ikut kajian cuma bisa separuh jalan. Kondangan juga sudah pasti skip. Apalagi cucurag RT. Tapi ya mau gimana lagi? Kondisi yang tidak memungkinkan.
Terus, saya ketemu lagi sama Bu RT. Pertanyaan serupa keluar lagi dari mulut beliau, "kok nggak pernah ikut acara RT."
Kali ini, saya jelaskan lagi kenapa nggak bisanya. Waktu itu memang sedang hamil muda dan kondisi saya sering sekali drop. Betul-betul nggak bisa capek.
Setelah kondisi saya membaik, saya betul-betul berusaha untuk datang ke undangan warga apapun itu bentuknya. Mau pengajian, aqiqah, atau yang lain. Selama saya diundang, saya pasti upayakan untuk datang. Biasanya sih, orang jadi nanyain siapa saya.
Ekspektasi yang Tak Sejalan dengan Realita
Sebelum saya pindah ke Bogor dan betul-betul menjalani kehidupan bertetangga, saya pernah membayangkan bahwa nanti saya bisa hidup bertetangga seperti kedua orang tua saya. Hubungan dengan tetangga baik, suka berbagi. Kalau punya anak, diasuh bareng. Jadi, anak nggak cuma punya teman main, tapi mainnya gimana yang ngawasin banyak.
Tetangga juga pinginnya jadi tempat berbagi. Kalau ada kelebihan rizki, dibagi. Kalau pingin cerita, ada temannya.
Realitanya, kenapa untuk menuju ke sana susah syekaleee? Boro-boro bisa curhat, kenal aja enggak. Sudah setahun lho, tapi nggak kenal sama tetangga.
Kadang, saya mikir gini, "apa cuma saya ya yang susah adaptasi sama tetangga?"
Kalau lihat postingan temen-temen saya yang guyup sama tetangganya gitu, saya iri lho. Kapan ya saya bisa seperti mereka? Bisa ketawa ketiwi bareng. Bisa ngobrol bareng dengan santai.
Kenapa mereka bisa dan saya tidak?
Sebuah Pembenaran
Kapan hari saya baca tulisan Puty Puar yang curhat masalah serupa. Baca tulisannya dia jadi ngerasa, "ih, ini gue banget."
Iya, saya merasa sesulit itu untuk berbaur dengan tetangga-tetangga saya. Alasannya sudah saya sebutkan tadi di atas.
Saya bersyukur sekali dipertemukan dengan komunitas Ibu Profesional. Jadi punya temen di Bogor. Sekali pun virtual ya. Tatap mukanya juga kalau lagi kopdar aja.
Mungkin karena saya udah termasuk ibu-ibu milenial kali ya. Semua serba on gadget. Temenan juga maunya yang instan. No drama, no baper.
Ya sih, saya tahu kalau teman virtual itu cuma dekat di jempol, jauh di mata. Kalau saya ada apa-apa juga belum tentu bisa bantu. Orang rumahnya aja jauhan.
Gimana pun juga, hubungan dengan tetangga ini yang kudu bener-bener dijalin. Sesusah apapun tetap kudu dicoba. Sedrama apapun ya kudu dijalani. Namanya juga interaksi sama manusia ya. Pasti nano-nano lah rasanya. Nggak mungkin lempeng-lempeng aja.
Temenan online aja bisa ada gesekan. Apalagi yang ketemu langsung. Ya, sama aja.
Harapan ke Depan
Last but not least, saya berharap hubungan saya dengan tetangga bisa jauh lebih baik. Bisa kenal kanan kiri. Kalau ada acara bisa ikutan juga. Dan, pastinya nggak jadi macem tetangga yang ansos (anti sosial; red) banget.
Semoga. Doakan saya ya.
Dan, kalau kamu pengantin baru yang ngalami kejadian serupa. Semangat juga buat kamu. Saya nggak bisa kasih saran apa-apa selain dukungan dan motivasi.