-->

Minggu, 10 Mei 2020

Resign Nggak Ya?

Resign

Obrolan dengan teman saya tempo hari cukup menggelitik saya untuk akhirnya membuat tulisan ini. Berbeda dengan saya yang sehari-hari full di rumah saja, teman saya ini guru. Ceritanya, teman saya ini baru saja punya anak. Kita sama-sama tahu lah ya bagaimana repotnya fase ini. Saya yang tidak kerja kantoran saja merasa kewalahan mengurus si kecil. Apalagi kalau masih harus kerja.

Selama ini, dia cukup terbantu dengan kehadiran ibunya. Beliau yang akhirnya mengasuh anaknya ketika teman saya harus berangkat mengajar. Dulu, semua berjalan damai. Bayi kecil masih banyak tidur, tingkahnya juga tidak banyak. Lambat laun, dia pun tumbuh dan berkembang. Bukan hanya bertambah berat dan tinggi saja, tapi juga gerak tubuhnya. Ya berguling, ya melata, dan seterusnya.

Teman saya lama kelamaan khawatir aanaknya akan  menjadi beban ibunya. Pasalnya, ibunyaa kini ssudah tidak muda lagi. Tenaga semakin terbatas. Kalau harus mengasuh bocah yang aktif sekali. Wow, kasihan juga sih. Hingga akhirnya, muncul pertanyaan ini dalam kepalanya.

"Apa aku resign aja, ya?"

Well, ini masalah yang sering sekali hadir dalam kehidupan kita sebagai perempuan. Sebetulnya, nggak hanya perempuan saja sih, laki-laki pun juga mengalaminya. Tapi background di balik keinginan resign antara laki-laki dan perempuan itu beda. Konflik batin sebelum dan sesudahnya pun beda. Jadi, kali ini saya mau sharing tentang ini.

Perempuan Bekerja dalam Sudut Pandang Islam

Kacamata Islam

Sebelum ngomongin resign atau nggaknya, kita bahas ini dulu deh. Sebetulnya, boleh nggak sih perempuan itu kerja? Kalau perempuan kerja, Allah ridha nggak sih? Melanggar syari'at nggak sih?

Kalau dalam Islam, sebetulnya perempuan itu boleh bekerja. Nggak hanya kerja dari rumah saja, kerja di ranah publik pun boleh. Selama ini, kita kenal  tokoh muslimah super keren yang pun hebat dalam bekerja di ranah publik. Namanya Khadijah binti Khuwalid. Jadi, kalau kalian mau kerja di ranah publik, it's okay. Itu pilihan kita dan boleh.

Meskipun demikian, bukan berarti segalanya jadi serba bebas. Ada beberapa hal yang harus tetap diperhatikan ketika perempuan memilih bekerja di ranah publik.

1. Menutup Aurat

Ini sudah pasti jadi syarat wajib kalau kita mau pergi keluar rumah. Apapun itu alasannya. Mau pergi bekerja, kuliah, bahkan menyapu halaman depan rumah pun wajib menutup aurat. 

2. Menjaga Kehormatan

Selain menutup aurat, kehormatan kita pun juga harus dijaga. Ini bisa dengan bagaiaman cara kita bersikap di lingkungan tempat kerja maupun pilihan pekerjaan yang akhirnya kita pilih.

3. Dengan Izin Orang Tua atau Suami

Ini nggak kalah wajibnya nih. Apapun pekerjaan yang kita pilih, pastikan bahwa kita sudah mendapatkan restu dari orang tua (kalau belum menikah) atau suami (bila sudah menikah). Tanpa restu dari mereka, sulit untuk mendapatkan keberkahan dari apa yang akan kita kerjakan. Nggak mau kan semua lelah kita jadi sia-sia hanya karna restu belum di tangan.


Alasan Perempuan Bekerja di Ranah Publik

Wanita karier

Menurut saya pribadi, secara garis besar perempuan bekerja karena ada dua faktor yang mempengaruhinya. Kalau bukan karena tuntutan ekonomi, ya karena butuh menyalurkan eksistensi diri. 

"Gue kan udah kuliah tinggi, masa iya nggak kerja?"

"Gue juga bisa kerjain itu lho."

Dan banyak alasan lain.

It's okay kok. Toh, setiap manusia memang lahir dengan naluri demikian. Itu sebabnya aneka ragam kompetisi ada. Bahkan, sejak awal kehidupan kita pun sudah dihadapkan dengan kompetisi.


Alasan Perempuan Ingin Resign

Alasan kerja

Biasanya, mereka yang galau mau resign atau tidak itu lebih banyak hadir pada mereka yang memang bekerja untuk menyalurkan eksistensi diri. Mereka tidak punya tuntutan ekonomi yang menghimpit. Sementara itu, ada kondisi lain yang mungkin lebih penting dibanding itu. Ada beberapa alasan yang membuat para perempuan ini memilih berhenti dari pekerjaan.

1. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif

Dalam urusan pekerjaan, perempuan biasanya jarang loncat dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Mereka cenderung diam di salah satu perusahaan. Tapi, bukan berarti akhirnya keinginan resign tidak ada.

Salah satu alasan mereka memilih resign, bisa jadi karena lingkungan kerja yang kurang bersahabat dengan kodrat perempuan ini. Misal, sering pulang larut malam atau tempat kerja yang terlalu jauh. Ini bisa menjadi alasan mereka untuk berhenti pekerjaan dan memilih bekerja di tempat yang lebih sesuai dengan kondisi mereka.

2. Punya Anak

Anak itu memang anugerah. Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa setelah punya anak, kita akan melalui fase repot. Fase ketika anak-anak kita masih amat bergantung dengan kita, ibunya.

Rasa bersalah dan tidak tega meninggalkan anak di rumah yang biasanya jadi pemicu perempuan memilih untuk berhenti dari pekerjaan. Banyak sekali perempuan yang akhirnya memilih berhenti bekerja setelah mereka punya anak. 

3. Ikut Suami

Ini alasan lain yang biasanya membuat perempuan berhenti bekerja. Setelah menikah, dia harus ikut suaminya yang bekerja di luar kota. Saya termasuk salah sati di dalamnya. 

Dulu, sebelum tinggal di Bogor, saya adalah dosen yang mengajar di Surabaya. Karena kami sepakat tidak ingin menjalani LDM di awal pernikahan kami, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja setelah saya menikah. 

4. Permintaan Suami

Ini pun alasan yang sering ada dalam masyarakat kita. Suami yang melarang istrinya bekerja. Bisa jadi karena ego suami. Istri punya penghasilan yang jauh lebih besar dari suami. Akhirnya memicu pertengkaran dalam rumah tangga.

Alasan lain mungkin bisa disebabkan karena melihat bahwa anak-anak lebih butuh pendampingan ibunya di masa emas. Biasanya, permintaan ini tidak disampaikan secara langsung. Tapi ada sindiran-sindiran halus terkait hal ini.

Abis Resign Terus Ngapain?

Apapun alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk berhenti bekerja, biasanya pertanyaan semacam ini  akan muncul. Abis resign terus ngapain? Masa di rumah saja? Bosan dong. Mati gaya banget kalau cuma di rumah aja.

Ibu rumah tangga

Ibu Rumah Tangga Juga Sibuk

Banyak orang yang menganggap menjadi ibu rumah tangga saja itu mudah. Kesibukannya hanya mengurus rumah. Padahal, kalau urusan rumah ini diturutin terus, seakan tidak ada habisnya. 

Ya bersih-bersih rumah, ya masak, ya urus anak, kadang suami juga minta diperhatikan. Ini semua cukup melelahkan kalau mau dikerjakan semua. Bahkan, punya waktu untuk diri sendiri saja sulit.


Ini yang  saya rasakan setelah punya anak. Sebelum ini, memang sibuk. Tapi semua masih bisa dikendalikan. Saya masih punya waktu untuk memanjakan diri atau mengerjakan hal lain yang saya mau. Setelah punya anak, semua berubah. 

Sekarang, sulit sekali menyempatkan waktu untuk menulis. Jangankan mengerjakan hobi, merawat diri saja sulit. Saya masih ingat betapa bencinya saya dengan diri sendiri setelah melahirkan. Badan saya bau sekali. Ya bau keringat, ya bau ASI. Rambut acak-acakan, wajah kusam, bibir kering, gendut pula. Ini berjalan kira-kira sampai Ghazy berumur 3 bulan. 

Saat itu, perhatian saya hanya untuk Ghazy. Rumah sudah saya abaikan. Masak biar seadanya saja. Mau beli atau masak yang mudah-mudah saja. Super duper lelah.

Kerja Tidak Harus dari Kantor

Fase paling sibuk seorang perempuan memang ketika dia baru saja punya anak. Tapi, selebihnya sesibuk-sibuknya dengan pekerjaan rumah, semua masih bisa dikondisikan. Masih bisa melakukan hal-hal yang disukai, bahkan mulai bekerja.

Kalau memang tidak ingin bekerja di kantor. Sebetulnya, kita bisa memilih bekerja paruh waktu. Toh, sekarang banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah tanpa harus meninggalkan anak.

Coba deh baca tulisannya Mbak Dhika Suhada yang sudah pernah mencoba banyak pekerjaan dari rumah. Ya buka catering, warung kopi, jualan gamis, hingga menjadi penulis. Rasa-rasanya semua pernah beliau kerjakan. Ini cukup menarik kalau kalian bingung setelah resign mau apa.

Buat Action Plan

Sebetulnya, working from home yang dialami oleh banyak orang saat ini, cukup bisa memberikan gambaran gimana sih rasanya di rumah aja itu. Bedanya, saat ini kita terikat oleh pekerjaan kantor. Ada segambreng to do list yang terkait dengan pekerjaan kantor kita. Setelah resign, ini yang akan hilang.

Setelah mantap akan menikah dengan suami, saya mulai menata langkah ke depan terhadap hal-hal yang akan berubah dalam hidup saya. Pekerjaan apa yang bisa mulai saya rintis dari nol lagi dan tidak akan terpengaruh bila nanti saya punya anak.

Saat itu, saya memilih untuk serius menjadi penulis. Dari situ, saya mulai merencanakan banyak hal. Salah satunya pembuatan blog ini sebagai sarana saya untuk belajar menulis. April 2018 blog ini dibuat. 

Selain menulis di blog, saya juga mengikuti beberapa kelas menulis. Dari sana, saya kenal beberapa penulis dengan banyak pengalaman mereka. Bergabung ke komunitas menulis pun iya. Semua saya lakukan agar setelah benar-benar resign saya tidak jetlag dengan situasi yang baru.



Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Resign

perhatikan

Pada dasarnya, tulisan ini tidak saya tulis untuk mendorong seluruh ibu-ibu untuk berhenti bekerja. Saya hanya ingin memberikan gambaran tentang apa yang sekiranya akan dihadapi ketika perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja. Kalau gambaran tadi memang sudah cukup jelas, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum akhirnya betul-betul berhenti bekerja.

1. Lihat Kondisi Diri Sendiri


"Ih, tega banget sih ninggal anak di rumah?"

"Sayang banget ya kalau berhenti kerja. Udah sekolah tinggi-tinggi gitu, terus ijazahnya buat apa?"

Please, tutup kuping aja sama komentar dari maha benar komentator ini. Karena apapun yang akan kita lakukan, semuanya tidak akan ada habisnya dikomentari. Alih-alih membuka telinga lebar-lebar, saya justru ingin kalian melihat ke dalam diri kalian sendiri.

Kita yang paling tahu kondisi kita sendiri. Kita yang menghadapi semuanya sendiri. Melihat dengan mata kepala kita sendiri dan turun tangan sendiri. Maka, keputusan resign atau tidak pun seharusnya didasarkan pada realita yang kita hadapi. Bukan komentar orang lain terhadap diri kita.


2. Mohon Petunjuk Allah

Memilih untuk berhenti  bekerja atau tidak bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah. Ada ego yang mungkin harus ditekan seminimalis mungkin. Ada keinginan yang harus direlakan untuk sementara waktu. Ada kecemasan yang mungkin melanda pula. 

Cukup ingat bahwa ujian ini datangnya dari Allah. Dia yang paling tahu bagaimana kondisi kita dan solusi terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini. Cukup serahkan semua pada Allah. Mohon petunjuk untuk menyelesaikan semua masalah ini.

3. Komunikasikan dengan Keluarga

Keputusan kita untuk resign, sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada lingkungan terdekat kita, yaitu keluarga. Coba komunikasikan hal ini. Apa pertimbangan kita, resiko apa yang sekiranya terjadi, dan tentu saja memohon dukungan keluarga atas keputusan ini.

4. Komunikasikan dengan Atasan

Terakhir yang tidak kalah penting adalah membicarakan hal ini dengan atasan. Nggak usah cerita ke teman kantor dulu. Cukup ke atasan saja. Kalau kita resign, mereka yang nanti harus mempersiapkan perubahan formasi baru tanpa kehadiran kita. Pekerjaan-pekerjaan yang terdahulu juga harus diselesaikan dengan baik. Kita masuk baik-baik. Upayakan juga untuk keluar baik-baik.

Penutup

Tarik napas dulu deh. Berat ya ketika kita harus dihadapkan pada pilihan karier atau keluarga. Sekali lagi, setiap orang punya kondisi yang berbeda. Adakalanya mendengar komentar orang lain terhdap hidup kita tidak akan menyelesaikan masalah. Pilih dan jalani apapun yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Last but not least, hadapi semuanya dengan senyuman. Kalau kamu punya cerita seru tentang dilema resign atau nggak, share di kolom komentar ya. Apa sih yang membuat kamu galau dan apa keputusan akhir yang kamu buat?