Belum ada sepekan setelah melahirkan saya dipertemukan oleh keluarga yang sedang gundah gulana. Ada nenek yang bolak-balik dengan wajah cemas. Ada seorang suami yang mengupayakan dirinya tetap tegar agar yang lain pun tak ikut cemas. Apalagi anaknya yang sedang menunggu di luar ruangan.
Saat itu kami ada di loby ruang bersalin. Niatnya sih jenguk Ghazy yang lagi disinar. Tapi kami harus menunggu beberapa waktu karena saat itu sedang ada tindakan. Jadilah kami turut menyaksikan kisah pilu bersama secara nyata.
Ceritanya, si ibu baru saja melahirkan caesar karena riwayat asma. Saat lahir, bayinya menangis kencang sekali sebagaimana mestinya. Dia cium anaknya dari meja operasi. Tidak lama karena memang ruangan operasi yang tidak terlalu bersahabat untuk bayi. Ibu dan bayi tadi pun akhirnya dipisahkan.
Setelah operasi, ibu masih harus berbaring di Ruang OK untuk observasi. Sementara bayinya di observasi di Ruang Perina. Saya tidak tahu jedanya berapa lama, tapi kemudian ada bayi ibu lain yang akhirnya dipertemukan.
"Mana bayi saya?" tanya ibu tadi.
"Sebentar ya Bu, masih diobservasi."
Sementara Si Ibu menunggu bayinya, di luar ruangan ada keluarga dan tenaga medis yang hilir mudik mengupayakan hal terbaik untuk bayi. Pasca dipisahkan ternyata bayinya kesulitan bernapas. Wajahnya membiru.
Cukup lama kami menunggu. Saya tahu semuanya berupaya yang terbaik untuk bayi tadi. Hingga akhirnya, ketetapan Allah datang. Bayi itu meninggal.
Sebelum pihak keluarga keluar, dokter anak yang menolong keluar ruangan dengan ekspresi pilu. Ada kesedihan luar biasa yang tampak dari raut wajahnya.
Tak lama kemudian, saudara perempuan pasangan suami istri tadi keluar sambil menangis. Dia peluk anaknya yang sedari tadi bermain di loby bersama kakak si bayi. Lalu, suami yang sedari tadi nampak kuat kini jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Dia luapkan emosinya saat itu juga sebelum akhirnya harus menguatkan sosok yang pasti akan amat hancur hatinya siang itu, istrinya.
Saya pun menangis melihat kondisi ini. Butuh waktu beberapa saat bagi keluarga dan dokter untuk akhirnya mengabarkan si ibu yang sedari tadi menunggu bayinya. Hingga akhirnya ketika waktu itu tiba, sayup-sayup saya dengat tangisan pilu ibu.
"Tadi dia ada. Tadi dia ada," begitu teriakannya.
Hati ini semakin teriris mendengar tangisan itu. Saya yang terpisah dari anak beberapa jam saja rasanya sudah begitu kalut. Apalagi ibu ini.
18 Februari 2020, kita dikejutkan oleh berita duka yang datang dari keluarga Bunga Citra Lestari. Suaminya, Ashraf Sinclaire meninggal pagi ketika Unge baru saja pulang. Iya, sebelumnya dia memang on air di acara Indonesia Idol sebagai juri.
Entah bagaimana rasanya ketika pulang ke rumah dan menghadapi kenyataan bahwa orang terkasih kita telah diminta kembali oleh Sang Pemilik Hidup. Rasanya mungkin seperti sedang bermimpi buruk. Tapi sekuat apapun kita berusaha terbangun, tidak akan bisa. Karna ya faktanya demikian.
Saya sempat melihat bagaimana ekspresi Unge dan Noah, putra mereka saat pemakaman Ashraf. Noah menangis. Sementara Unge berusaha menenangkan putranya.
Hari itu sosial media banjir ucapan doa terbaik untuk Ashraf. Tidak hanya itu, ada banyak istri yang pun baper menyaksikan kejadian ini. Siapa yang menyangka Ashraf akan meninggal dalam usia tersebut. Tapi siapa yang bisa mengetahui tentang ajal? Tidak ada. Hanya Allah saja yang tahu.
Keesokan paginya, rasanya sulit sekali melepas suami untuk berangkat kerja. Segala macam bujukan agar suami remote dari rumah pun dilancarkan. Sayang, hari itu juga suami memang harus sekali berangkat ke kantor karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan.
Suami saya memang biasa pulang malam. Paling cepat sampai rumah pukul 10 malam. Tapi malam itu lain. Saya terbangun lewat tengah malam dan mendapati ada yang kurang di ranjang kami. Suami saya belum juga ada di sana.
Saya tajamkan pendengaran, barangkali dia sedang mandi. Tapi tak ada tanda-tanda manusia lain selain saya dan Ghazy di rumah. Rasa cemas mulai datang. Saya telpon dia. Tidak diangkat.
"Mungkin kehujanan, jadi pulang larut."
Lewat pukul 1 dini hari, belum ada tanda-tanda kehadirannya. Saya telpon lagi. Kali ini sayup-sayup mulai terdengar suara ringtone HP. Lega sekali rasanya.
Iya, kisah BCL dan Ashraf memang membuat saya pun ikut baper. Tidak ada yang tahu kapan ajal itu datang. Saya tidak pernah tahu kapan nanti saya, suami, dan anak-anak saya mati. Sekuat apapun saya berusaha mendekap mereka, tetap saja ketika Allah mengambilnya lagi, kami akan terpisah juga.
Satu-satunya sikap yang harus diambil dan diupayakan ya ridho dengan segala ketetapan Allah. Jelas, segalanya tidak akan mudah. Siapa sih yang mau berpisah untuk selamanya dengan orang terkasih kita? Kalau saya ditanya, apakah siap atau tidak, ya mungkin tidak akan pernah siap. Tapi ketika hal itu terjadi, apa baik kalau saya terus menerus meratapi kehilangan?
Pada akhirnya, bagi mereka yang masih diberi kesempatan untuk berkumpul ya melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan. Hingga ketika nanti waktu itu tiba, tak ada lagi sesal di dalam dada. Toh, penyesalan-penyesalan itu tak akan membuat yang mati hidup kembali.
Lakukan yang terbaik sebagai hamba yang suatu saat nanti akan mati. Lakukan yang terbaik sebagai anggota keluarga yang nanti akan meninggalkan dan ditinggalkan. Karena waktu tak akan pernah bisa kembali.
With love,