"Jangan kaku-kaku jadi orang. Mana ada laki-laki yang mau sama kamu kalau begitu itu?"
"Jangan suka pilih-pilih jadi cewek. Kalau ada yang datang, ya udah itu aja."
"Jadi cewek standarnya jangan terlalu tinggi. Cowok mau ngedeket juga takut duluan."
Ah, dulu kalimat begini ini mudah sekali saya dengar. Nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Seakan saya harus nerima laki-laki mana pun yang datang ke saya. Bagaimana pun bentuknya, sikapnya, sifatnya. Pokoknya, iyain aja. Biar cepet nikah.
Menginjak usia 25 tahun ke atas, saya juga pingin segera menikah. Tapi aneka rupa kisah pernikahan yang dibanjiri air mata bikin saya nggak berani pilih sembarang orang. Sengebet apapun saya saat itu.
Gagal nikah? Udah pernah. Gagal ta'aruf? Sering.
Jangan ditanya gimana galaunya saat itu. Gimana mengendalikan hati yang kecewa. Antara takut menjalani, tapi kecewa begitu memutuskan tidak. Ah, apalah saya ini.
Hingga datang sebuah kabar dari teman saya. Katanya, ada penulis yang lagi cari jodoh untuk keponakannya. Beliau hunting dari anak didiknya yang ikut training menulis bersama beliau. Salah satunya, teman saya ini.
Teman saya japri beliau, bilang kalau ada kenalan yang direkomendasikan, yaitu saya. Mulai tuh proses comblang-comblangin.
Sebetulnya, orang yang lagi dicarikan jodoh itu suami saya. Tapi karna saya tinggal dan kerja di Surabaya, akhirnya tawaran berpindah ke adiknya yang juga kerja di Surabaya. Waktu ditawarin adiknya itu, saya sempat galau. Antara iya dan tidak.
"Dia punya kakak yang kerja di Jakarta. Sebetulnya sih kakaknya juga belum menikah. Katanya sih, masih keasyikan bangun kariernya."
Nggak ngerti banget kenapa, saat diceritain tentang kakaknya, saya jadi ngebatin begini.
"Kenapa sih bukan sama kakaknya aja?"
Itu pikiran yang meluncur begitu saja tanpa saya sadari. Saat itu, saya menganggap bahwa kakaknya jauh lebih dewasa, jauh lebih bisa memimpin saya dibanding adiknya yang usianya masih sebaya dengan saya.
Singkat cerita, saya mau coba. Tapi, adiknya nggak. Baiklah. Kita akhiri proses ini.
Urusan dengan adiknya selesai, datang laki-laki lain yang berproses dengan saya. Meski akhirnya sih, gagal juga.
Saat itu, ternyata penulis yang tadi kontak teman saya lagi.
"Akhwat yang kemarin mau aku kenalin sama kakaknya deh."
Teman saya tahu kalau saya lagi proses. Jadi nggak berani nawarin juga.
Lalu, datanglah sebuah pesan singkat yang sungguh to the point dan bikin adem panas. Dari siapa lagi kalau bukan penulis itu?
Kok bisa kenal? Saya juga ikut kelas nulisnya. XD
Sudah, jangan dikomentari betapa mbuletnya cerita ini.
Beliau promosikan ponakannya dan setelah pertimbangan ini itu, saya iyakan tawaran itu. Kami bertukar CV untuk mengenal satu sama lain.
"Mayan lah.."
Hahaha...
Interaksi antara kami berdua semakin lama semakin bikin kami mantap untuk melangsungkan ke jenjang pernikahan. Orang yang disimpan dulu, ujung-ujungnya jadi suami saya juga.
Setelah menikah penulis tadi, yang sekarang jadi tante saya cerita begini.
"Banyak pilihan akhwat yang dikasih ke aku. Tapi aku sregnya kalau nggak kamu ya anak luar pulau itu. Pas aku tawarin sama yang luar pulau, ternyata akhwatnya nggak mau. Abis itu masih datang lagi pilihan yang lain. Banyak banget. Tapi nggak ada yang aku suka. Sempet ngebatin juga sih, kenapa jadi aku seleksi. Hahaha... Akhirnya ya aku kontak kamu lagi itu. Eh, jodoh."
Iya, seruwet itu perjalanannya. Saya dan suami nggak pernah kenal sebelumnya. Satu almamater tidak. Tinggal pun di kota yang berbeda. Kami jalani hidup kami masing-masing, menyiapkan bekal masing-masing, hingga Allah bilang kami siap untuk menikah.
Bogor - Surabaya itu jauh. Tapi buat Allah mudah sekali untuk mendekatkan kami. Mas dapat proyek di Jawa Timur saat kami kenalan. Ndilalah, proyeknya mundur lama sekali sampai kami menikah.
Orang kantornya sering ngebecandain begini, "pantes betah di Jawa. Ada ceweknya sih. Lama di Jawa, eh, pulang-pulang bawa istri."
Ya gitu deh.
Jodoh itu kalau mau dirumuskan, sulit. Susah banget cari formula yang pas. Mending nggak usah dicari formulanya. Lakukan saja ikhtiar terbaik yang bisa kita lakukan. Nanti, biar Allah yang tunjukan jalannya. Sabar aja.
With love,