Ada satu fakta menarik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang sering kali menjadi badai dalam rumah tangga seseorang, yaitu hadirnya orang ketiga. Saya nggak bilang bahwa setiap rumah tangga diuji dengan masalah ini, tapi yang begini ini banyak.
Saya ingat peristiwa 5 tahun yang lalu, saat saya menjadi salah satu narahubung di salah satu kegiatan kampus. Setelah proses promosi kegiatan ke beberapa sekolah, ada salah satu pihak dari sekolah yang menghubungi saya. Sayangnya, dia tidak menanyakan sama sekali perihal acara tapi justru memberikan saya warning pada salah satu narahubung lain yang namanya tercantum dalam proposal tersebut.
�Hati-hati dengan Wati (bukan nama sebenarnya), dia perebut laki-laki orang. Setelah menghabiskan kekayaan suami saya dan menghancurkan kehidupan keluarga kami, dia pergi.�
Intinya begitu. Isi pesan singkatnya tentu bukan cuma itu saja. Tapi cerita panjang kali lebar tentang perselingkuhan suaminya dengan Wati dan bagaimana akhirnya dia dan suami Wati memergoki keduanya di salah satu hotel di Jember. Ngeri, ya?
Kalian bisa bayangkan shocknya saya saat itu. Baru lulus sarjana, baru dapat kerja juga, lalu dapat kisah semacam ini. Saat itu, saya abaikan pesan singkat itu. Saya masih mencoba untuk positive thinking dengan kondisi semacam ini. Saya tidak tahu mana yang benar dan salah. Siapa tahu itu fitnah. Hingga suatu hari saya melihat sendiri Wati satu mobil dengan pria paruh baya berdua saja. Lalu, muncul rumor-rumor tentang Wati yang memang suka begitu. Kencan dengan suami orang.
Menginjak usia kepala 2, cerita orang ketiga ini banyak saya dengar dari berbagai pihak dengan tokoh utama yang berbeda. Ada yang jadi �gundik�. Ada yang pacaran diam-diam dengan teman sekantor dan justru dicie-ciein teman kantor yang lain. Ada yang suka menjadikan kantor sebagai tempat ketemu pacar rahasia. Banyak. Ini belum lagi drama yang ada di TV atau Youtube, belum juga dari orang-orang yang curhat di akun Jouska.
Kok Bisa Selingkuh?
Pernah nggak sih kalian penasaran kenapa yang begini ini bisa terjadi? Apa sih yang memicu hadirnya orang ketiga?
Sabtu lalu, saya menghadiri bedah buku di Balai Kota Bogor sebagai perwakilan dari Ibu Profesional Bogor. Di sana, Bu Adriana Soekandar Ginanjar menyampaikan bahwa salah satu faktor yang membuat perselingkuhan ini semakin marak adalah adanya media sosial. Dari media sosial ini, kita jadi terhubung kembali dengan teman-temam lama kita dulu. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ketemu mantan atau orang lain yang terlihat lebih baik dari pasangan kita. Lebih kaya mungkin, lebih tampan, atau lebih punya waktu untuk kita.
Saya setuju dengan hal ini. Memang, media sosial ini bisa menjadi salah satu pemicu dari terjadinya perselingkuhan. Tapi sebetulnya akar permasalahan yang sesungguhnya bukan itu. Masalah semacam ini sebetulnya punya cabang yang sama dengan aneka bentuk perzinahan lain, baik itu yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah maupun belum.
Apa itu?
Pemahaman tentang batas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi yang muslim. Ini ada lho aturannya. Ada batas-batasan antara yang boleh dan tidak.
Dalam Islam, pergaulan antara laki-laki dan perempuan by default terpisah, kecuali untuk urusan-urusan ini. Pendidikan, muamalah, kesehatan, dan peradilan. Jadi boleh kalau lagi belajar terus forumnya campur antara laki-laki dan perempuan. Saat muamalah juga boleh. Kesehatan, lagi sakit terus ndilalah dapat dokter laki-laki, boleh lho ini. Saat peradilan juga demikian.
Di luar itu bagaimana? Nonton bareng, misalnya. Ya kita cek lagi. Ini ada kaitannya dengan pendidikan kah? Muamalah kah? Kesehatan kah? Peradilan kah? Kalau nggak ada ya nggak boleh.
�Gue mau nonton bareng.�
�Buat apa?�
�Ya seneng-seneng aja.�
Nontonnya sih boleh ya, mubah-mubah saja. Tapi campur baurnya ini yang perlu diperhatikan lagi.
Ketika kita paham batasan ini, sadar bahwa Allah selalu mengawasi, kita juga jadi lebih hati-hati ketika berbincang dengan lawan jenis. Bila tidak ada keperluan yang syar�i, pasti akan diupayakan untuk dihindari.
Contoh, curhat dengan lawan jenis. Iya, awalnya curhat aja. Lama-lama nyaman. Lama-lama lupa diri. Lama-lama muncul sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Poligami dan Aneka Macam Kontroversinya
Bicara tentang orang ketiga, sebetulnya tidak akan lepas dari pembahasan yang satu ini juga. Poligami. Dari apa yang Bu Adriana sampaikan, ternyata ada pelaku perselingkuhan yang ketahuan berdalih semacam ini.
�Nggak masalah dong kalau saya suka dengan perempuan lain? Kan laki-laki punya jatah 4 orang istri.�
Hmmmmmmmmmm� hmmmmmmmmmm� hmmmmmmmm (dibaca dengan nadanya Nisa Sabian selama 3 jam)
Fakta yang sering Bu Adriana temui di lapangan ini jadi mengingatkan saya pada pertanyaan mahasiswa saya dulu ketika kami membahas tentang pergaulan dalam Islam.
�Bu Lel, saya tahu bahwa poligami itu adalah syari�at Islam. Tapi kenapa ya rasanya poligami ini hanya digunakan untuk menghalalkan perselingkuhan saja.�
Sabtu lalu, saya sempat bikin polling di instastory saya yang menanyakan hal serupa. Ternyata, orang-orang yang berpendapat demikian ini juga banyak. Well, saya nggak nyalahin orang-orang yang punya pendapat demikian. Mereka punya alasan kenapa akhirnya punya opini semacam ini terhadap poligami.
Opini semacam ini biasanya terbentuk karena banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam praktik poligami itu sendiri. Salah satu contohnya, ya kasus bapak-bapak yang udahlah selingkuh malah bilang soal jatah istri. Terekdes!
Seolah-olah poligami hanya dipakai untuk melampiaskan hasrat seksual saja tanpa melihat konsekuensi lain yang harusnya diterapkan juga dalam pernikahan poligami ini. Belum lagi monsterisasi poligami ini sendiri oleh aneka macam pihak.
Seolah-olah poligami hanya dipakai untuk melampiaskan hasrat seksual saja tanpa melihat konsekuensi lain yang harusnya diterapkan juga dalam pernikahan poligami ini. Belum lagi monsterisasi poligami ini sendiri oleh aneka macam pihak.
Penyimpangan Poligami
Well, kalau kita bicara tentang penyimpangan poligami, dari apa yang pernah saya amati dari pelakunya, ternyata ini dimulai dari penyimpangan pernikahan monogaminya sendiri. Jadi ya sebenernya dia ngurus satu aja nggak bener dan berantakan banget, terus pingin nambah lagi. Alamak!
Pertama, ada banyak orang yang memulai poligami dengan perselingkuhan. Awalnya kencan diam-diam. Lama kelamaan, nikah diam-diam. Hmmm�
Bu Adriana bilang begini ketika ngadepin kasus semacam ini, �poligami tidak seharusnya dimulai dengan perselingkuhan. Mestinya, kalau mau poligami, ta�aruf dulu, jalani cara-cara yang memang dibenarnya oleh syari�at Islam, bukan dengan selingkuh.�
I totally agree with her. Ibaratnya, kita lagi mau nambah ibadah yang lain, ya kali dimulai dengan maksiat. Sayang dong.
Penyimpangan praktik poligami yang lain terjadi dari sisi pemenuhan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga. Helloooo� Poligami itu bukan hanya sekedar enaena halal ya. Ketika seorang laki-laki memilih poligami, mestinya dia juga paham bahwa tanggung jawabnya akan menjadi naik berkali lipat. Ada istri-istri yang perlu dididik. Ada anak-anak juga yang butuh diberi perhatian dan pendidikan. Belum lagi soal nafkah. Ini nggak soal cuma bikin anak terus ditinggal. Nggak, nggak begitu. Atau cuma datang ketika pingin melampiaskan hasrat seksual. Tapi perihal mendidik lewat.
Banyak orang mengambil poligami karena mau ikuti sunnah Rasul. Tapi mereka lupa bahwa Rasulullah datang ke istri-istrinya nggak cuma untuk begituan aja. Semuanya dididik lho. Kita bisa lihat kisah bagaiamana istri-istri Rasulullah sebelum dan sesudah menikah dengan Rasulullah. Amati perubahan sikapnya, amati bagaimana naiknya ketaqwaan mereka di sisi Allah. Jadi lucu kalau berdalih ngikutin Rasul tapi yang diambil bagian yang menurutnya enak aja.
Apakah Poligami Sama dengan Selingkuh?
Lalu, muncul pertanyaan semacam ini. Sebelum menjabarkan opini saya, mau nanya dulu nih. Apa sih yang membedakan pacaran dengan menikah? Secara, kalau kita lihat orang-orang yang pacaran hari ini tuh nggak cuma ketemu dan say hello aja. Ada pegang-pegangan tangan, rangkul-rangkulan, bercumbu rayu, bahkan ada yang melakukan lebih jauh lagi, yaitu sex. Well, apakah suami istri tidak melakukan hal ini? Melakukan lah yaa..
Kalau sudah, mari kita tengok aktivitas orang yang selingkuh dan pelaku poligami. Sama-sama melibatkan orang ketiga, bahkan keempat, dan kelima. Tapi ada yang membedakan semua itu. Baik antara pacaran dengan menikah, maupun selingkuh dengan poligami itu sendiri. Ikatan yang diikat dalam perjanjian suci, mitsaqan galizan. Ikatan yang menjadikan sesuatu yang tadinya haram menjadi halal. Ikatan yang diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi hukum syara� yang lain.
Jadi, kalau ditanya apa poligami ini sama dengan selingkuh syar�i? Jawabannya jelas tidak. Apalagi jika pelakunya sudah berusaha untuk berjalan dalam koridor hukum syara� seperti apa yang Rasulullah contohkan.
Mau Nggak Dipoligami?
Bahas topik poligami dan perselingkuhan, nggak akan lepas dari pertanyaan semacam ini.
�Emang kamu mau diselingkuhin?�
�Emang kamu mau dipoligami?�
Kalau soal diselingkuhi, jawabannya sudah jelas tidak. Emang ada orang yang mau dibeginiin? Ini udah pelanggaran akut yang saya nggak bisa tolerir sama sekali. Pengkhianatan semacam ini tuh bukan cuma ke saya, tapi juga ke anak-anak, keluarga besar dan Allah. Berat men.
Kalau poligami?
I don�t know. Wkwkwkw..
Honestly, saya nggak tahu mau jawab apa. Rasanya sulit memang berbagi suami dengan perempuan lain. Tapi, bagaimana jika ada kondisi yang mengharuskan saya memilih ini?
Saya pernah sih ngobrolin ini dengan suami. Saya tanya suami saya apakah dia punya keinginan poligami atau tidak. Jawabannya juga sebias saya. Karena ya nggak mudah untuk mengiyakan poligami itu sendiri. Ini bukan hanya perkara nambah istri aja, tapi ada perkara-perkara lain yang mengikutinya. Jadi ya nggak bisa cuma sekedar pingin aja.
Lepas dari saya mau atau nggak. Intinya sih, saya nggak bisa sepenuhnya menolak poligami ini karena dia adalah bagian dari syariat Islam. Ketika Allah saja membolehkan hal ini, kok ya lancing banget kalau saya mengharamkan hal ini.
Kalau kamu gimana? Mau nggak dipoligami? Share dong opini kamu tentang ini di kolom komentar.
with love,