-->

Minggu, 19 Mei 2019

Ibu Hamil Puasa, Boleh Nggak Sih?

Puasa ramadhan


Usia kehamilan saya sudah menginjak 13 minggu saat Ramadhan tiba. Meski masih trimester pertama, sebetulnya kondisi saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mual muntah juga sudah berkurang. Lemes-lemes di pagi hari itu bisa dibilang sudah nggak ada lagi. Jadi, saya bisa kembali beraktivitas normal seperti sedia kala.

Kondisi yang makin prima bikin saya makin terdorong untuk bisa menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan. Saya tahu bahwa ada keringanan yang diberikan kepada ibu hamil, yaitu boleh untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya, harus mengqadha (mengganti puasa di lain hari).



"Lho? Bukan bayar fidyah ya?"

Nah, ini nih yang juga perlu dibahas. Saya dulu tahunya kalau ibu hamil dan menyusui ketika tidak mampu berpuasa, maka dia harus membayar fidyah. Ternyata, pemahaman seperti ini keliru. Di mana kelirunya? Yuk, kita bahas.

Keringanan untuk Ibu Hamil di Bulan Ramadhan


Puasa ibu hamil


Kita sama-sama tahu bahwa ada beberapa golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di Bulan Ramadhan. Mereka adalah orang-orang yang sakit, orang-orang tua yang tidak mampu berpuasa, orang-orang yang sedang safar (bepergian), orang-orang yang hamil, dan menyusui. Terus kalau tidak puasa bagaimana? Ada yang harus mengganti di lain hari, ada pula yang harus membayar fidyah.

Lalu, siapa nih yang harus membayar puasa dengan puasa qadha dan mana nih yang bisa membayar fidyah puasa?

Yuk, kita perjelas dulu. Fidyah itu apa sih?

Apa itu fidyah puasa?

Fidyah puasa merupakan pengganti dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan. Penggantinya berupa memberikan makan ada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah?

Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif �Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami� li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan. Mereka adalah:

1. Orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya.

Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), �Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.� (wa �alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha�aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184).

Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, �Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.� (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif �Uwaidhah, Al Jami� li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

2. Orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib diqadha. 

Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu �Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu �anhum.

3. Suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. 

Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif �Uwaidhah, Al Jami� li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Kalau ibu hamil dan menyusui bagaimana?

Ternyata, bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha' puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tidak ada kewajiban atas mereka untuk membayar fidyah. Mereka hanya diwajibkan untuk meng-qadha' puasaNya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami� li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).

Jadi, clear ya? Ibu hamil itu nggak wajib membayar fidyah, tapi wajib untuk meng-qadha' puasanya. Kalau mau bayar fidyah ya boleh-boleh aja. Tapi ketika bumil dan busui ini bayar fidyah, tidak akan menggugurkan kewajibannya untuk mengqadha' puasa.

Habis jadi bumil, kan jadi busui. Gimana tuh bayarnya?


Dalam perkara ini juga, tidak ada batasan sampai kapan sih meng-qadha' puasa itu. Tidak dalam range sebelum Ramadhan tahun selanjutnya kok. Meski demikian, alangkah baiknya kalau disegerakan. Tentu saja, karena kita tidak pernah tahu sampai kapan sih usia kita. Jangan-jangan qadha' belum lunas udah expired duluan hidup kita.

Pingin Puasa, Tapi....

Puasa


Usia kehamilan yang udah makin gedhe. Kondisi mual muntah yang sudah jauh berkurang, bikin saya pingin puasa Ramadhan. Saya pun cerita ke suami tentang keinginan saya itu. Suami sih lebih prefer untuk ambil keringanan itu. Lihat kondisi saya yang sering kelaparan ditambah lagi punya riwayat asam lambung juga. Khawatir kenapa-kenapa sih beliau. Tapi sayanya ngeyel.

2 hari sebelum puasa, kebetulan saya kontrol ke dokter kandungan. Banyak hal yang sebetulnya ingin saya tanyakan ke dokter, tentang punggung saya yang sakit, perut yang blubub-blubub, hingga perkara puasa itu tadi. Tapi abis lihat bayinya main-main dalam perut saya, dengerin detak jantungnya juga, pertanyaan-pertanyaan tadi jadi lupa.

Ya gitu lah ya. Jadi galau-galau sendiri. Ini puasa nggak ya gitu.

"Aku puasa ya."
"Nggak usah."



Itu berulang tiap kali kami duduk bareng entah di mana pun berada. Saya sebetulnya lagi nyari supporter buat puasa. Tapi suami lebih support saya buat nggak puasa.

"Yaudah, aku besok coba puasa aja ya. Kalau lemes aku langsung buka puasa."

Suami masih tetep kekeuh dengan "nggak"-nya. Ya karna saya juga yang jalani, yaudah puasa aja. Nggak tahu deh kuat sampai jam berapa.

Hari pertama, subuh seperti biasa udah krucukan tuh perut. Masih bisa nahan lah ya. Kira-kira jam 9 pagi, udah bener-bener nggak tahan lagi karena lemes banget. Jadi buru-buru buka puasa dan dopping makan kurma banyak-banyak.

Hari kedua, lebih lama lagi nih, sampai jam 10. Pas hari ketiga nih yang efeknya bombastis. Saya tahan nggak makan dan minum sampai pukul 11 memang. Tapi abis itu gemeteran terus. Bahkan, buat sholat aja nggak kuat. Lemes dan gemeteran badan ini.

Hampir 2 minggu saya cuma bisa terbaring di atas kasur. Segala upaya sudah dilakukan. Minum suplemen penambah darah nggak ngaruh. Minum air rendaman kurma pun tak bertahan lama. Nasi putih juga nggak bisa masuk. Seakan itu memperburuk segalanya. Mual, muntah, dan diare. Semua tumbuh jadi satu.



Puasa? Tentu tidak. Setelah 3 percobaan puasa itu. Saya stop puasa. Melihat kondisi fisik saya yang butuh asupan nutrisi untuk penambah tenaga.

Saya sempat khawatir dengan kondisi janin saya dalam kondisi semacam itu. Tapi ternyata, dia baik-baik saja. Masih asyik main di dalam tubuh. Bergerak ke sana ke mari. Semuanya normal.



Aman Nggak Sih Ibu Hamil Puasa?



Kasus yang terjadi pada saya selama (percobaan) puasa, tidak selalu dialami oleh ibu hamil yang lain. Ada banyak sekali ibu hamil yang tetap bisa menjalankan ibadah puasa tanpa masalah apapun. Menurut dr. Frizar Irmansyah, Sp.OG, dokter spesialis kebidanan dari RS Pusat Pertamina, puasa pada dasarnya diperbolehkan untuk ibu hamil yang keadaan ibu dan bayinya sehat. Jadi, kalau kondisi kehamilannya tanpa masalah, bahkan pada trimester pertama pun boleh untuk puasa.

Hanya saja, sebelum berpuasa, sebaiknya ibu hamil berkonsultasi terlebih dahulu pada dokter. Apakah kondisi ibu dan janinnya dalam kondisi sehat atau tidak. Jika kondisinya sehat, ibu hamil boleh-boleh saja berpuasa. Tapi, ibu hamil tetap harus mampu memenuhi kebutuhan nutrisi untuk dirinya dan janin selama berpuasa.

Kandungan nutrisi dan gizi seimbang yang harus dipenuhi kurang lebih 2500 kalori dalam sehari. Komposisinya, 50% karbohidrat (kurang lebih 308 gram), 30% protein (kurang lebih 103 gram), dan 10-20% lemak (kurang lebih 75 gram). Pemenuhan nutrisi ini bisa dipenuhi dengan mengkonsumi makanan empat sehat lima sempurna. Ibu hamil juga bisa menambahkan dengan suplemen vitamin yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi selama berpuasa.

Selain zat-zat tadi, ada beberapa zat penting yang diperlukan selama kehamilan, seperti asam folat, zat besi, dan kalsium. Ketiganya dapat dipenuhi dari konsumsi kacang-kacangan, sayuran, serta susu dan ikan.

Kesimpulan

Jadi, kalau ada yang tanya ibu hamil boleh puasa apa nggak sih? Jawabannya ya tergantung dari kondisi kesehatan ibu hamil sendiri. Kalau dari kehamilannya sehat-sehat saja, ya silakan untuk berpuasa. Dari sisi medis, hal ini diperbolehkan. Tentu dengan syarat-syarat tertentu. Seperti asupan nutrisi harus tetap tercukupi dan yang paling penting tidak memaksakan diri untuk berpuasa.

Dari sisi agama, ibu hamil juga diperbolehkan untuk puasa. Boleh-boleh saja. Ketika hamil, puasa ini nggak jadi auto haram. Tapi, semisal tidak mampu puasa ada keringanan yang bisa diambil oleh ibu hamil tersebut.

Buat para bumil yang sedang berpuasa dan berusaha untuk puasa. Semangat. Semoga perjuangan puasa saat hamil diganti Allah dengan anak yang shalih shalihah yang lahir dari perut bumil.

With love,