-->

Selasa, 19 Februari 2019

Ngapain Sekolah Tinggi Kalau Cuma Jadi IRT?

Ngapain Sekolah Tinggi Kalau Cuma Jadi IRT?

Kurang dari seminggu saya mau resign, ada mahasiswa yang datang ke ruangan saya. Dia ini anak bimbing saya di Program Mahasiswa Wirausaha. Jarang curhat sih. Tapi kalau sekali curhat banyak.

�Bu Lelly mau resign ya?�

�Iya.�

�Kapan, Bu?�

�Per tanggal 1 Agustus.�

Dia kemudian bercerita tentang kegalauannya untuk melanjutkan sekolah lagi. Katanya, saya adalah salah satu contoh bahwa perempuan itu tidak perlu menempuh Pendidikan yang terlalu tinggi. Pada akhirnya, perempuan akan kembali ke keluarganya. Dibilang begitu dia jadi galau. Haruskah dia melanjutkan kuliah lagi?

Saya ketawa aja dicurhatin begitu. Lalu, saya sampaikan ke dia tentang apa sih peran perempuan ketika dia menikah. Peran ini yang kemudian akan menjawab secara tidak langsung seberapa penting sih perempuan itu terdidik dan tidak. 

Support System Suami

Support System Suami


Setelah menikah, jangan dikira bahwa segalanya akan lebih mudah dibanding ketika kita masih melajang. Ada tantangan baru yang harus ditaklukkan sebelum anak lahir di tengah-tengah keluarga kecil kita, yaitu menjadi support system suami.

Seorang istri akan hadir untuk menjadi supporter terdepan suami. Dia yang akan membantu suami bagaimana sih agar bahtera itu bisa sampai ke tujuan yang diinginkan. Bagaimana menciptakan rumah agar tetap nyaman dan aman? Bagaimana mendidik anak-anak nanti? Pendidikan apa yang ingin diterapkan? Pola asuh seperti apa yang ingin dijalankan? Dan masih banyak lagi.

Besar kecilnya tugas support system ini akan amat sangat bergantung dari suami. Waktu awal saya menikah dan pindah ke Bogor, saya langsung dikader oleh suami. Saya dibawa keliling Bogor, diberikan tugas-tugas yang membantu saya untuk kenal beberapa daerah di Bogor. Ini karena suami saya tidak bisa antar jemput saya ke mana saja setiap saat. Beliau kerja di Jakarta. Setiap hari harus pulang pergi Jakarta Bogor, tidak mungkin kalau jadi sopir pribadi saya.

Sistem di dalam rumah juga kami susun bersama. Begitu saya masuk sebagai anggota dalam rumah, tentu akan ada perubahan-perubahan yang terjadi. Tidak bisa suami saya menggunakan ritme yang dulu. Begitu pula dengan saya. Maka, kami buat beberapa kesepakatan untuk memudahkan kami berdua. Ini untuk hal apa saja ya. Pembagian tugas di dalam rumah. Jadwal kegiatan kami. Bahkan perihal manajemen rumah dan keuangan kami bicarakan berdua. Jadi, kami sama-sama tahu tantangan yang dihadapi itu apa. Oya, rencana ke depan apa juga kami bicarakan.

Dalam topik yang seberat itu, biasanya kami akan berbagi ilmu yang sudah kami pelajari dulu sebelum menikah. Kami saling berbagi satu sama lain. Semuanya butuh ilmu. Semuanya butuh untuk terbiasa berpikir, menganalisa dan memecahkan masalah dari akar. Dan yang begini akan beda dengan orang yang tidak pernah menempuh Pendidikan sama sekali. 

Al Ummu Madrasatul Ula

Al Ummu Madrasatul Ula


Setelah menikah, ada amanah lain yang Allah berikan kepada kita, yaitu menjadi ibu. Ini adalah tugas besar kita. Dari seorang ibu, anak mengenal dunianya. Dari seorang ibu, anak bisa kenal Tuhannya. Dari ibu juga, anak belajar bagaimana harus bersikap hingga karakternya terbentuk dengan sendirinya.

Mungkinkah semua hal itu bisa didapatkan anak ketika ibunya sendiri fakir ilmu?

Sebelum menikah, saya banyak mengamati pola asuh anak dan perkembangan kecerdasan anak. Ini bukan ke dia bisa ngomonb umur berapa dan lain sebagainya. Tapi bagaimana kemampuan anak untuk mengidentifikasi sesuatu pada usianya.

Ternyata, orang tua yang punya kurikulum yang jelas untuk mendidik anak, hasilnya akan beda dengan mereka yang tidak punya rancangan sama sekali. Bahkan sering trial error ke anak. Itu beda.

Ada 4 komponen yang akan membantu proses berpikir manusia. Ada otak, ada alat indera, ada fakta yang terindera, dan ada informasi sebelumnya yang diberikan. Masih ingat tidak bagaimana Nabi Adam bisa mengenal semua benda? Di Alquran dijelaskan bahwa Allah-lah yang memberitahukan nama-nama benda itu. Bandingkan dengan malaikat yang tidak diberi tahu, ya nggak bakalan tahu.

Anak pun demikian. Informasi awal datang dari ibu. Seberapa besar anak punya banyak wawasan, ini tergantung dari seberapa banyak ibunya memberikan informasi tersebut. Masalahnya, orang terlalu banyak beralasan ketika menyentuh ranah ini.

�Aku bukan Nia Ramadhani yang punya banyak pembantu yang bisa handle ini itu.�

Baiklaaah� terserah sih. Setiap ibu punya prioritas yang berbeda. Kalau saya sih, anak yang lebih penting. Mau dia jadi kotor atau ruman berantakan itu nomor sekian. Hal yang paling penting adalah memastikan bahwa dia belajar dari berbagai macam aktivitas bersama ibunya.


Paradigma di Masyarakat

Paradigma di Masyarakat


Sebetulnya, saya dulu termasuk orang yang menyangsikan hal tersebut. Bua tapa kamu kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Kenapa? Karena begitulah yang saya lihat di lingkungan sekitar saya. Orang yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, maka berhenti pula aktivitas publiknya. Apa yang dia urus hanya soal dapur, sumur, kasur. Kalau semacam ini, ya memang buat apa punya Pendidikan tinggi.

Soal Pendidikan anak? Saya nggak lihat itu juga sih. Setelah anak tumbuh agak besar dan bisa dimarahi, maka anak yang jadi korban. Sabetan, pukulan, cacian masuk semua ke telinga anak tanpa ada jeda sedikit pun.

Dari segi bagaimana memecahkan permasalahan juga beda lho. Kebayang kan? Ibu-ibu yang menyelesaikan masalah antar tetangga dengan ghibah sana sini atau ngeoabrak. Itu kan elegan banget.

Lalu, muncul pembandingnya. Wanita karier. Anaknya punya Pendidikan yang baik. Ketika menyelesaikan masalah juga nggak keburu emosi. Mungkin saking seringnya berhadapan dengan masalah.

Pandangan ini yang bikin ibu rumah tangga tampak tidak keren di mata dunia. Bukan karena statusnya yang tidak keren, tapi pelakunya yang membuat status ini jadi nampak nggak wow gitu.

Beberapa tahun kemudian, saya kenal dengan sosok ibu rumah tangga yang lain dari biasanya. Sosok yang begitu menginspirasi sekitarnya. Sosok yang layak untuk dijadikan role model. Tugas utama perempuan, yaitu al-umm wa rabbatul bayt (ibu sekaligus pengatur rumah tangga) dia jalankan dengan baik.

Pandangan saya pun berubah. Bukan statusnya yang penting. Tapi bagaimana seseorang menempatkan dirinya itu yang paling penting. Mau jadi wanita karier atau hanya berkarier di rumah, Pendidikan itu wajib didapatkan oleh perempuan. Proses ini tentu tidak hanya berhenti di bangku sekolah saja. Dia juga harus mau belajar ke segala penjuru negeri untuk memperkaya wawasannya dalam menjalankan amanah besar dari Allah.

Jadi, dari sini kita bisa sama-sama belajar. Seberapa penting pendidikan bagi ibu rumah tangga itu tergantung dari peran yang dia pilih dan ingin dijalani. Kalau hanya sekedar dapur, sumur, kasur, ya betul tidak butuh kok berpendidikan tinggi. Semua juga bisa menjalaninya. Tapi lain kalau kita ingin menjadi support system yang baik dalam keluarga dan ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Semua itu butuh ilmu. Semuanya butuh pembiasaan untuk berpikir, menganalisa, dan menyelesaikan masalah secara tepat.

Kita boleh belajar dari mana saja. Tidak harus memang punya ijasah untuk membuktikan bahwa kita terdidik. Bukan legalitas hitam di atas putih sih yang penting. Tapi bagaimana sikap kita itu yang nantinya akan menunjukkan apakah kita orang yang berpendidikan atau tidak.



with love,